"Jangan pernah balapan liar lagi, Vion! Jika kau mati bagaimana!"
Ellard Cedric Gervais
Pria berumur kepala lima itu sungguh di buat pusing dengan kelakuan anak bungsunya.
Alvion Cedric Gervais, putra bungsu yang masih kelas satu SMA ini begitu berbeda dari apa yang ia harapkan, berontak, nakal, bolos sekolah, tawuran, balapan semua dia lakukan, entah dari mana dan entah siapa yang mengajarinya.
Sudah berulang kali Ellard menasehati dan menghukum anaknya itu agar tidak berkelakuan di luar nalar tapi berulang kali juga Alvion membantahnya.
"Bukan urusan elo."
Alvion yang sedang mengunyah permen karet di dalam mulutnya hanya acuh mendengar perkataan dari ayahnya itu, baginya suara Ellard terdengar seperti suara nyamuk menganggu.
Ellard geram, ia menggebrak meja kaca yang berada didepannya hingga hancur.
"Alvion! Sudah cukup! Aku tidak mau jika kau nanti terluka! Kau putraku!"
"Peduli! Enggak! Elo juga nggak pernah peduli sama perasaan gua! Elo nggak pernah! Kalo lo peduli lo nggak akan misahin gua sama mommy!" Alvion meludah, dia menatap benci ke arah Ellard, selanjutnya dia pergi meninggalkan kediaman ayahnya ini.
"Alvion! Alvion!"
"Sial!"
Ellard mengepalkan tangannya, tangan yang tadinya berdarah kini kembali mengeluarkan darah yang banyak akibat kepalan kuat itu.
Kenapa anak bungsunya seperti ini, tidak sesuai dengan ekspektasinya, Alvion terlalu nakal, tidak seperti anak bungsu yang baik pada umumnya.
"Kejar dia, jangan biarkan dia balapan lagi!"
"Baik, Tuan."
* * *
Sementara itu di sebuah rumah tingkat dua, suami istri sedang menghitung uang hasil kerja dari anaknya.
"Cuma segini?" tanya Elva Dharmawan. "Cuma segini Alvian! Jawab! Kalau orang bertanya itu di jawab, kamu tidak tuli kan? Telinga kamu masih dipake buat mendengar, kan!"
"Jawab!"Roki Dharmawan, pria itu dengan teganya memukul kepala remaja laki-laki yang tengah berlutut di depan mereka.
"Iya, Bu. Uang Pian di potong sama Mbak Tami, kan bukan kemarin nombok."
"Heh!"
Alvian Dharmawan, remaja laki-laki yang polos dan baik hati, hanya bisa menuruti perintah ibu dan ayahnya itu hanya bisa memegang tangan Roki yang menjambak rambutnya, sungguh Alvian tidak berbohong, ini benar-benar sakit.
"Peduli! Tidak! Seharusnya kamu itu cari pekerjaan lain! Kerja part time di cafe atau menjual koran di lampu merah juga bisa! Jika seperti ini bagaimana kami mau makan! Uang segini tidak cukup beli makanan! Kau mau kami kelaparan!" Roki membentur kepala Alvian ke meja, "Jawab! Ada mulut kan! Mau kami kelaparan!"
Kepala Alvian sakit, rasanya berkunang-kunang, dengan sekuat tenaga ia mencoba menjawab."Iya, Ayah ... tidak mau ..."
"Itu kamu tahu! Jadi sekarang pergi cari uang sampai dapat! Pokoknya malam ini harus ada! Kami mau pergi ke restoran yang baru buka! Kalau malam ini tidak dapat uang maka tidak boleh pulang! Aku akan mengatakan pada gurumu untuk mengeluarkan mu dari sekolah juga! Mau!"Elva menampar-nampar pipi Alvian.
Alvian menggeleng, ia tidak mau dikeluarkan dari sekolah. Ia suka belajar, jadi Alvian tidak mau jika itu sampai terjadi.
"Sana! Apalagi? Cepat lakukan bodoh!"Roki menendang dada Alvian.
Sesak tapi Alvian sekuat tenaga berdiri, ia harus mencari pekerjaan lain, jika tidak pasti sekolahnya akan terputus.
Alvian berjalan pelan di trotoar sambil memegang dadanya, ia bingung akan pergi ke mana, ayah dan ibunya menyuruhnya mencari pekerjaan, jadi dimana ia mencarinya sekarang.
"Kata Ibu jualan koran di lampu merah, tapi dimana ya dapetin korannya? Pian bingung ..."
Perut Alvian berbunyi, tanda lapar, bagaimana lagi, sedari pagi ia tidak makan apapun, bahkan air putih pun tak masuk dalam tubuhnya, Elva dan Roki tidak memberikan makan dan minum.
Di sekolah Alvian juga tidak bisa makan dan minum karena tidak memegang uang, di tempat kerja juga sama, Alvian tidak diperkenankan untuk istirahat karena pelanggan yang datang tidak ada hentinya.
Haus dan lapar, itu yang Alvian rasakan.
"Nggak boleh! Pian harus semangat! Pian harus cari kerja lagi!"
Tak terasa Alvian kini sudah sampai di lampu merah, ia melihat motor dan mobil berhenti karena merahnya lampu, ia melihat kesana kemari, mencari orang yang menjual koran, ia bisa meminta tolong pada orang itu agar menunjukkan dimana mengambil koran-koran untuk di jual.
* * *
Alvion mengendarai motornya dengan cepat, motor sport berwarna hitam itu sangat mencolok di keramaian jalan, belum lagi kecepatan motor itu sungguh di luar batas.
"Anjing!"
Alvion memukul stir motornya, wajahnya yang terkena cepatnya angin karena tidak memakai helm tak ia hiraukan.
"Gua benci elo Ellard! Gua benci!"
Alvion bertambah mempercepat laju motornya, ia tak menghiraukan lampu merah yang menyala.
Mata alvion melotot saat melihat seseorang yang menyeberang jalan, ia mencoba membanting stir.
Brakk ...
Kecelakaan terjadi, Alvion terlempar dan berguling-guling ke aspal hingga kepalanya terkena pembatas jalan.
Begitu juga dengan orang yang ia tabrak, terlempar begitu jauh.
Orang yang di tabrak Alvion adalah Alvian.
Mereka berdua langsung tidak sadarkan diri seketika, darah mengalir dari kepala mereka.
Orang-orang segera mendekat ke arah kedua remaja itu, ada yang menelpon ambulance ada juga yang membantu meminggirkan motor yang sudah sedikit hancur itu.
Mereka tidak berani mengangkat ataupun menolong korban kecelakaan, takut korban kecelakaan mengalami luka parah atau patah tulang yang serius ataupun luka dalam, mereka hanya bisa menunggu ambulans agar bisa melakukan pertolongan pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvion & Alvian
Подростковая литератураBagaimana jadinya jika seorang remaja laki-laki nakal dan tidak bisa di atur berpindah tubuh ke tubuh remaja yang polos penuh dengan penderitaan. Bagaimana juga dengan sebaliknya, bagaimana jika seorang remaja polos berpindah tubuh ke remaja nakal...