Sebagian orang percaya bahwa menjadi anak tengah berarti sering terlupakan. Bagi Erick, itu bukan sekadar mitos. Dia merasa terabaikan-ayahnya terlalu sibuk dengan kakaknya, sementara ibunya lebih fokus pada adiknya. Di tengah kesepiannya, Erick ber...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Henry duduk di dalam mobilnya, mencoba menghubungi nomor anonim itu berulang kali. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya panggilannya diangkat.
"Di mana saudara gue, brengsek?!" teriak Henry dengan suara penuh emosi.
"Sabar, sabar. Oke?" suara di ujung telepon terdengar santai, seolah menikmati situasinya.
Tak lama kemudian, sebuah video masuk ke ponselnya. Dengan napas memburu, Henry segera memutarnya. Dalam rekaman itu, Erikc terlihat berdiri di sudut ruangan dengan tangan terikat di depan.
"Berdiri yang benar, brengsek!" terdengar suara seseorang, punggungnya membelakangi kamera. Tanpa peringatan, pria itu menendang kaki Erikc, membuatnya jatuh berlutut.
Genggaman Henry di ponselnya semakin erat. Rahangnya mengeras, amarahnya memuncak. Matanya membara melihat pemandangan itu.
"Bangsat…!" umpatnya dengan suara penuh kemarahan. Dengan frustrasi, ia menghantam setir mobil berkali-kali, menyalurkan rasa marah yang hampir tak terbendung.
Beberapa detik kemudian, nomor anonim itu menelepon lagi. Tanpa ragu, Henry langsung mengangkatnya.
"Bangsat...!!! Lepasin saudara gue, atau gue bunuh lo!" suaranya penuh amarah.
Di seberang, terdengar tawa pelan—santai, penuh ejekan. Darah Henry mendidih.
"Di mana lo?!" bentaknya, tapi orang itu hanya terus tertawa, seolah menikmati kemarahan Henry.
"Sabar dong," kali ini suaranya terdengar tanpa efek penyamaran.
Henry langsung mengenali suara itu. Tidak perlu menebak lagi.
"Yuga."
Tawa kecil terdengar lagi. "Wah, telinga lo tajam sekali. Langsung mengenali gue, ya?"
"Mau lo apa, sialan?!" gertak Henry, napasnya memburu.
"Mau gue? Gue mau lo hancur."
"Dimana lo?! Ayo kita ketemu!"
Hening sejenak sebelum suara Yuga kembali terdengar. "Hmm... sepertinya Azka tahu di mana gue berada."
Henry langsung menutup telepon. Tanpa pikir panjang, dia memutar setir dan berbelok tajam, menekan pedal gas sekuat tenaga. Mobilnya melesat di jalanan malam.
Sesampainya di rumah Azka, tanpa ragu Henry turun dan bergegas menuju rumah sederhana itu. Amarahnya masih membara.
Azka membuka pintu gerbang rumahnya, setelah pintu gerbang itu terbuka. Tampa babibu lagi Henry menghantam wajah Azka, hingga membuat Azka tersungkur kebelakang.
azka yang mendapat serangan tiba tiba mengerenyit bingung.
"Lo kenapa, sih. Hen.? "
Tampa memberi jawaban, Henry terus menghajar wajah Azka, beberapa kali. Setelah puas ia akhirnya memukul tanah dengan begitu kencang.