59. Anak pertama.

368 58 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











Seandainya Rangga diberi tahu sejak kecil bahwa menjadi anak pertama adalah tugas yang berat, mungkin sejak balita ia sudah mulai belajar mempersiapkan diri.

Di luar ruang ICU, ia terduduk di lantai. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya. Hatinya terasa begitu sakit melihat Erikc terbaring di dalam sana. Kata-kata Dokter Retno terus terngiang di kepalanya—dokter itu tidak bisa memastikan kapan Erikc akan sadar.

Dulu, saat wawancara untuk pendidikan spesialis, ketika para dokter bertanya alasan mengapa ia ingin menjadi dokter, Rangga menjawab dengan yakin bahwa ia ingin menjadi dokter agar bisa melindungi adiknya yang sakit.

Saat itu, Dokter Retno—yang menjadi pewawancara—hanya tersenyum sinis.Kemudian ia berkata,

"Kau tahu? Sehebat apa pun seorang dokter, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa saat keluarganya sendiri yang menjadi pasien."

Dulu, Rangga mengira Dokter Retno hanya sok tahu dan menganggap alasannya menjadi dokter sebagai sesuatu yang klise.

Kini, ia baru menyadari bahwa apa yang dikatakan Dokter Retno dulu memang benar. Melihat Erikc terluka seperti itu, tangannya bergetar hebat. Padahal, ia ingin ikut andil dalam operasi tersebut.

Saat itulah Rangga benar-benar menyadari bahwa alasannya menjadi dokter memang klise. Dokter Retno bukan sekadar sok tahu…

Rangga menekuk lututnya, menenggelamkan kepalanya di sana.

Tiba-tiba, pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia masih duduk di bangku SMA. Saat itu, ia hanyalah seorang pemuda dengan banyak mimpi. Ia begitu menyukai segala hal tentang teknologi, bahkan sudah merencanakan kuliah di jurusan IT. Namun, suatu kejadian mengubah segalanya, memaksanya mengubur impian itu dalam-dalam.

Sore itu, Rangga tidak ingin pulang. Ia masih asyik bermain game di warnet bersama teman-temannya. Sambil menikmati mie cup dan kopi, tangannya dengan lincah membunuh musuh-musuh dalam permainan.

"Rangga, sebelah sini, Rangga!" seru salah satu temannya, memberi instruksi.

Di tengah keseruannya, suara ponselnya tiba-tiba berdering nyaring. Ia mendengus kesal saat melihat nama Bibik Sum di layar. Tanpa pikir panjang, Rangga mematikan ponselnya—ia tidak ingin diganggu.

Setelah matahari terbenam, Rangga akhirnya pulang. Ia memasuki rumah dengan perasaan senang, tetapi Bibik Sum langsung menghampirinya. Wajah perempuan itu terlihat pucat, ekspresinya dipenuhi kecemasan.

"Kenapa, Bik?" tanya Rangga heran.

"Bang, Erik... Bang. Erikc gak napas!" suara Bibik bergetar.

"Maksud Bibik apa?" Rangga langsung bergegas naik ke lantai atas.

Di sana, ia melihat Erikc terbaring di ranjangnya. Wajahnya begitu pucat, bibirnya membiru.

"Ini kenapa, Bik?" Panik mulai merayapi suara Rangga.

The TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang