Prolog

3.1K 106 4
                                    

Suara gebukan menggema di sepanjang koridor. Orang-orang hanya melihat bagaimana perempuan itu menghabisi laki-laki paling berandal di sekolahnya. Tidak ada yang berani mendekat, bahkan untuk kebetulan berdiri di sekitar tempat kejadian saja, mereka menyesal.

Mereka ingin menjauh, terlebih dari perempuan itu.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya seorang wanita yang merupakan salah satu gurunya.

Perempuan itu tidak menghentikan pukulannya dan tidak mempedulikan kehadiran gurunya itu. Tujuannya dari awal hanya satu, yaitu menghabisi laki-laki dihadapannya.

"Hentikan semua ini!" pekik guru itu ketika melihat kepala laki-laki itu mengeluarkan banyak darah. Bisa diperkirakan, laki-laki itu pasti sudah pingsan.

Dua orang satpam berjalan ke arah perempuan itu, menariknya agar berhenti melakukan pertengkaran tersebut. Guru tadi mulai memanggil staf guru lainnya untuk menolong siswanya yang sudah berlumuran darah di lantai. Dibantu dengan beberapa orang siswa, siswa itu diangkat ke UKS terlebih dahulu untuk mendapatkan pertolongan pertama.

"Kamu keterlaluan. What have you done?" tanya seorang wanita paruh baya yang merupakan gurunya di sekolah itu. Perempuan yang berstatus siswi itu tidak menjawab dan hanya menatap datar gurunya.

"Kamu masih berurusan dengan saya. Jangan mencoba untuk kabur, ini sudah lewat batas. Saya pastikan kamu akan mendapatkan ganjarannya," kata guru itu tajam, kemudian pergi meninggalkan perempuan itu.

Selepas guru itu pergi, ia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Beberapa murid yang masih berada di sana, terperanjat karena ditatap oleh perempuan itu. Perlahan mereka melangkah, hingga akhirnya hanya ada dia di koridor itu. Sendirian.

***

"Ayah gak nyangka kamu ngelakuin ini," ucap seorang pria kepada perempuan itu ketika mereka tiba di rumah. Mereka baru saja dari rumah sakit serta kantor polisi untuk menyelesaikan semua permasalahan perempuan itu.

Perempuan itu berjalan mendahului ayahnya, kemudian duduk di sofa tamu sambil melepas tas dan sepatunya. Dari yang dilihat, perempuan itu jelas tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kamu hampir masuk penjara! Tidak pernah sejarahnya salah satu keluarga Gelbert masuk penjara. Kamu tahu?" Perempuan itu diam, malah meraih toples di meja depannya yang berisikan kue coklat kesukaannya. "Kamu hampir membuat malu nama keluarga ini kalau aja ayah gak nyelesein ini."

Pria itu mulai jengah karena sikap anak perempuannya itu. Ia menggeram pelan, kemudian mengetatkan rahangnya. "Kimora, apa kamu mendengarkan ayah?"

Tatapan tajam pria itu, perlahan mulai mengusik kosentrasi perempuan itu dari kuenya. Dengan tenang, ia membersihkan tangannya, lalu dengan berani membalas tatapan ayahnya.

"What do you want, Father?" tanya perempuan itu akhirnya angkat bicara.

"Apa yang ayah inginkan?" tanya pria itu balik berusaha meyakinkan perempuan itu dengan pertanyaannya sendiri. Pria itu mengusap wajahnya kasar, lalu berkata, "Kenapa bertanya kalau sudah tahu jawabannya? Ini bukan kejadian yang pertama Kimora! Ini sudah sering terjadi!"

"Kalau ini bukan kejadian yang pertama , kenapa ayah memperbesarnya? Harusnya ayah sudah terbiasa," jawab perempuan itu dengan enteng.

"Terbiasa?" tanya ayahnya tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Dalam lubuk hatinya, pria itu benar-benar merasa kecewa dengan jawaban anaknya.

"Iya, terbiasa. Terbiasa dipanggil sekolah, terbiasa dengan polisi, terbiasa dengan keluarga korban, terbiasa membayar semua kerugian," kata perempuan itu lebih menjelaskan maksud kata terbiasa yang ada dalam pikirannya. "Bukankah itu yang selalu ayah lakukan akhir-akhir ini? Jadi kenapa harus dipermasalahkan? Ayah hanya perlu terbiasa."

"Ka-kamu..." pria itu tidak tahu harus berkata apa lagi untuk menjawab kata-kata anaknya. Ia kehabisan kata-kata dan itu membuatnya kesal.

Pria itu menggeram, lalu berkata ketika ia kembali mendapatkan kata-katanya, "Ayah gak tau apa yang udah membuat kamu berubah kayak gini, tapi ini emang benar-benar keterlaluan. Kamu menghabisi seorang siswa dan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Kamu sadar gak kalau kamu hampir menjadi pembunuh?"

Kimora tidak menjawab dan hanya memperhatikan bagaimana ayahnya marah.

Pintu rumah terbuka, menampakkan sosok lain masuk ke dalam rumah. Seorang laki-laki yang seumuran dengan perempuan itu mematung sejenak ketika mengetahui bahwa kedua orang sebelumnya sedang bertengkar. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, berusaha untuk tidak mencampuri urusan mereka.

Pria itu tidak menghiraukan laki-laki itu, sehingga pandangannya kembali fokus kepada si perempuan. Si pria paruh baya melanjutkan, "Kamu dikeluarkan secara tidak terhormat, itu yang dikatakan kepala sekolah tadi. Tidak cuma itu, pengeluaran kamu yang kali ini membuat kemungkinan semua sekolah di negara ini tidak akan menerima kamu. Sekarang apa yang kamu lakukan?"

"It's simple, aku gak perlu sekolah," jawab perempuan itu, membuat kedua alis ayahnya bertaut. "Aku akan langsung bekerja saja. Lagipula tujuan sekolah untuk mendapatkan uang. Jadi sama saja kalau aku memilih untuk langsung bekerja. Intinya, sama-sama mendapatkan uang."

"Kimora Hanifza Gelbert, masuk ke dalam kamar. Renungkan semua kesalahan kamu!" kata pria itu final dengan dingin.

Perempuan itu bangkit dari sofa, mengambil tasnya, lalu berjalan menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarnya. Pria itu, menatap kepergian anak perempuannya dengan helaan napas kasar. Pandangannya teralih ke laki-laki yang sejak tadi hanya berdiri mematung di depan pintu sejenak, kemudian berjalan lelah ke dalam kamarnya.

Laki-laki itu menatap pria itu dengan iba. Ia dapat melihat rasa lelah dari sorot mata pria itu. Ia ikut menghela napas, lalu berjalan menyusul perempuan tadi hingga ke kamarnya.

"Kimora," panggil laki-laki itu ketika perempuan itu sedang duduk di sofa empuk yang ada di balkon.

Tanpa disuruh, laki-laki itu berjalan mendekati perempuan itu, kemudian mengambil tempat di sampingnya.

"Tadi ngapain lagi? Lo gebukin orang lagi? Alasannya apa lagi kali ini?" tanya laki-laki itu sambil membawa kepala perempuan itu ke bahunya.

"Dia anak berandal, suka malak bahkan ngebully orang dengan kurang ajar. Paling sering sih digunain buat minta uang anak lain. Dia miskin, makanya suka malak. Gue gebukin dia karena sikapnya yang kurang ajar dan gue gebukin karena pasti ketika dia udah babak belur, ayah bakal ngasih uang lebih untuk perawatannya dan uang lebih untuk harga tutup mulut supaya gak menuntut gue. Jadi dia ga bakal malak lagi karena udah dapet uang dari ayah."

"Niat gue bener kan? Gak ada malak lagi di sekolah, dia udah di rumah sakit dan udah dikasih uang lebih. Semua teratasi"

Laki-laki itu menghela napas, lantas ia berkata, "Mungkin masalah utama teratasi tapi gimana sama masalah lo yang dikeluarin? Itu gak teratasi. Ini udah sering banget Kimo," ujar laki-laki itu dengan lembut.

"Bisa berhenti pake kekerasan Kim? Gue gak suka lo terus mengandalkan tangan dan kaki lo untuk menyelesaikan segalanya."

Tatapan Kimo berubah dingin, ia pun berkata, "Gak bisa. Itu cara gue bertahan hidup." Kimo bangun, lalu memeluk lututnya erat. "Tolong jangan bahas ini lagi, Kemi. Lo tahu kenapa gue bisa jadi kayak gini."

Dan ternyata, kejadian saat itu masih berbekas juga sampai sekarang. Meninggalkan luka dan trauma mendalam, serta menjadi alasan mengapa perempuan itu berubah.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang