Ocho

725 55 3
                                    

Radit, laki-laki berengsek yang sudah melakukan pelecehan terhadap perempuan polos tidak bersalah. Laki-laki itu terlihat senang-senang saja bahkan tertawa dengan teman-temannya yang mungkin kelakuannya tidak jauh beda dengannya.

Di ujung koridor, Kimo berdiri tegap layaknya robot. Rambutnya menutupi sebagian wajahnya, mungkin karena habis berlari. Kimo dari posisinya, menatap Radit begitu tajam. Tidak ada yang menyadari kehadirannya, terlebih di saat sekolah sudah kosong.

"Jadi lo apain tuh anak orang?" tanya teman Radit yang botak.

"Apaan dah? Gak gue apa-apain juga" kata laki-laki itu dengan santai, sedikit tergelak sebelumnya.

Teman-teman Radit yang berjumlah dua orang itu saling menatap tidak percaya. Salah satunya kembali bertanya, "Gak diapa-apain gimane maksud lo? Jelas-jelas tuh anak balik-balik dah kusut dari atas sampai bawah. Gak sengaja tadi gue liat dia lewat"

Mendengarnya, lantas Radit terkekeh kemudian mengusap rambutnya asal-asalan. "Having fun yang pastinya. Puas gue" ujar laki-laki itu kemudian menyeringai.

Kedua teman Radit ikut tertawa mendengar pernyataan laki-laki itu. Mereka sudah menebak dari awal apa yang sudah dilakukan oleh laki-laki itu. Hal laknat memang, tapi dijadikan candaan oleh mereka.

"Kita balik dulu dah Dit. Masih banyak urusan" kemudian mereka bertiga bertos ria tanda perpisahan.

Akhirnya tinggallah Radit seorang diri di koridor tersebut. Ia bersandar di dinding sekolah sambil meraih rokoknya dari saku bajunya. Ketika laki-laki itu hendak menempelkan rokoknya pada bibirnya, Kimo langsung memukul leher laki-laki itu dengan keras. Laki-laki itu tersentak, kemudian jatuh pingsan.

***

Laki-laki itu sadar setelah beberapa jam pingsan. Ia sedikit panik saat membuka mata karena dia tidak bisa melihat apapun. Tapi kepanikan itu sedikit mereda setelah menyadari kebodohannya karena pasalnya dia tidak bisa melihat karena memang ruangan itu gelap. Tidak ada cahaya apapun.

Tiba-tiba laki-laki itu terbatuk karena debu di sekitar ruangan.

"Lo sudah bangun" kata sebuah suara yang berhasil membuat Radit terpaku. Nadanya begitu dingin, mampu membuat Radit merinding.

"Lo siapa?" tanya laki-laki itu kebingungan. Dia tidak dapat menemukan kehadiran sosok yang sedang berbicara dengannya. Bukannya mendengar jawaban, ia malah mendengar bunyi gesekan benda tajam. Terdengar seperti sedang mengasah pisau. Tidak hanya itu, Radit juga terkejut dibuatnya ketika mendengar bunyi rantai yang dilempar ke arahnya.

Radit ingin kabur, tapi tidak jadi karena baru sadar kalau tubuhnya terikat. Tangan dan kakinya pun juga.

"Ingin melarikan diri?" tanya suara itu lagi. Dingin dan mengerikan.

"Lepasin gue! Mau lo apa bangsat?!" Radit panik, berteriak histeris. Tiba-tiba ia merasa pengap. Tidak bisa bernapas,  membuat keringatnya bercucuran.

Terdengar suara tawa pelan dan benar-benar terdengar mengerikan. "Lo takut Radit?" tanya suara itu lagi.

Kemudian terdengar suara langkah sepatu yang berjalan mendekat. Perlahan, Radit bisa melihat sosok itu. Seorang perempuan berambut sebahu. Radit tidak bisa melihat dengan jelas karena gelapnya ruangan.

"Mau lo apa?"

"Penyiksaan lo. Suara teriakan kepedihan lo, gue mau itu semua" ucap perempuan itu.

Radit seketika mendengus. Lenyap sudah ketakutannya sejak ia mengetahui bahwa orang yang dihadapinya hanyalah seorang perempuan. Radit tertawa mengejek, sekarang gilirannya lah untuk melawan.

"Udah bego kali ya? Lo sadar gak sih lagi ngelawan siapa?" tanya laki-laki itu dengan pongah. Di dalam kegelapan, Kimo menyipit tajam. "Gue saranin sama lo, daripada lo abis sama gue di sekolah, mending lo lepasin gue. Selagi gue masih baik"

Kemudian tatapan Radit beralih ke arah tali yang sedang mengikat seluruh tubuhnya. "Lo tau? Tali ini bukan apa-apa buat gue"

"Oh ya?" Kimo tersenyum miring. "Lepasin diri lo kalau gitu"

Radit pun mulai mencoba melepaskan dirinya dari tali yang mengikat sehingga menyebabkan kulitnya bergesekan dengan tali. Namun bukannya terlepas, laki-laki itu malah merintih kesakitan. Seluruh tubuhnya tiba-tiba mengeluarkan darah. Ia tidak mengerti, jenis tali apa yang membuat kulitnya berdarah seperti ini?

"Susah? Coba lagi Radit" suruh Kimo dengan dingin.

Radit mengumpat diiringi dengan suara rintihannya. Tubuhnya semakin banyak saja mengeluarkan darah.

"Apa yang udah lo lakukan ke Zea Radit?" Radit mendongakkan kepalanya, menatap sosok perempuan yang tidak bisa dilihatnya dengan jelas. Dalam rintihannya, ia masih sempat-sempatnya menyeringai.

"Gue jadiin dia barang kepuasan gue. Kenapa? Lo mau juga?"

Tiba-tiba Kimo melempar sebuah batu ke arah kaca yang terletak di sisi samping ruangan. Lantas Radit terkejut. Secercah cahaya masuk akibat kaca dipecahkan oleh Kimo sehingga membuat wajah Kimo terlihat jelas.

"Lo anak baru itu?" tanya Radit tidak kalah terkejut. Baru saja kemaren ia dan teman-temannya membicarakan anak baru yang katanya mirip bule untuk membuatnya menjadi korban kepuasannya yang baru, tapi sekarang perempuan itu ada di depannya.

Tanpa berkata-kata, Kimo melangkah maju. Ia menarik kedua tangan Radit yang terikat dengan paksa dari tali aneh yang membuat kulitnya mengeluarkan darah. Tali yang mengikat tangan Radit terputus, tapi kulit tangannya menjadi sobek.

Radit berteriak kesakitan. "Lo udah gila!"

"Kenapa lo lakuin itu ke Zea?"

"Lo budeg atau gimana? Buat kepuasan gue!"

Dengan wajah datar tanpa eskpresi, Kimo memutar tangan kanan Radit dengan keras membuat tangan laki-laki itu terkilir. Laki-laki itu berteriak lagi.

"Lo minta dua puluh lima juta dari Zea. Itu kesepakatannya dan lo malah mengingkarinya dengan melecehkannya?" Kimo mencengkram kedua tangan Radit dengan keras.

Radit baru menyadari bahwa sejak tadi Kimo mengenakan sarung tangan tipis. Pintar sekali, pikir laki-laki itu. Bahkan dalam kejadian ini, perempuan itu tidak akan meninggalkan sidik jarinya.

"Lo tau?" suara Kimo menyentakkan keterlamunannya. "Lo pantas untuk semua ini" Setelah mengucapkan itu, terdengar suara derikan yang sangat keras dari tangan Radit.

Kimo baru saja mematahkan tangan Radit.

Radit berteriak keras. Tidak bisa menahan sakitnya lagi. Matanya berkunang-kunang, rasanya ia ingin pingsan.

Tidak sampai disitu, Kimo menambahkan dengan dua kali tonjokan tepat di wajah laki-laki. Cukuplah tonjokan itu membuat hidung laki-laki itu mengeluarkan darah.

"Zia, dia yang nyuruh gue lecehin Zea. Dia, semua itu suruhan dia" Kimo mengepalkan tangannya. Satu tonjokan lagi lolos dari Kimo.

Laki-laki itu sebentar lagi akan pingsan dan mungkin saja sebentar lagi dia akan kehilangan nyawanya karena banyak kehilangan darah.

Kimo tidak peduli dan permainannya belum selesai.

"Hadiah terakhir gue. Gue yakin lo suka" kata Kimo kemudian keluar dari ruangan tersebut.

Tak jauh  di dekat Radit, sudah ada saja seekor kucing gembul dengan bulu yang sangat tebal. Kimo meninggalkan laki-laki itu dengan seekor kucing gembul saat tahu bahwa laki-laki itu sangat alergi dengan kucing.

Radit tidak kuat lagi.

"Tolong!" teriak laki-laki itu dan kemudian pingsan.

Kimo mendengar teriakan itu, tapi ia tidak peduli. Kimopun meraih sebuah hp kecil dari sakunya, menekan beberapa angka, kemudian nada sambung terdengar di telinganya.

"Halo. Dengan kepolisian.."

"Pelaku pelecehan, di gudang sekolah SMA Elangsa" ucapnya yang kemudian langsung mematikan telepon.

Dengan santai, Kimo membuang hp kecil itu ke tong sampah. Ia membuka sarung tangan tipisnya dan memasukkannya ke dalam saku. Dengan tenang, Kimo pergi seperti sedang tidak terjadi apa-apa.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang