Epilog

337 14 7
                                    

Sepasang kaki bergelantungan, tidak sama panjang sampai seorang suster memakaikan kaki palsu pada kaki kanannya. Wanita itu tersenyum kecil ketika kaki palsu itu dipasangkan kepada kakinya. Lucu saja menurutnya melihat kakinya yang tidak sama panjang itu disambung dengan kaki palsu.

Suster itu kemudian bangkit seraya memperhatikan kaki palsu yang baru dipasangkan, ia menatap wanita itu, lalu bertanya, "Nyaman?"

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.

"Coba digerakkan."

Wanita itu pun menggerakkan kakinya sesuai perintah dari suster.

"Ini kaki palsu yang dibilang sama Kemi kemaren?"

Suster itu mengangguk. "Kaki palsu yang ini lebih bagus dari kaki palsu yang kamaren. Lagipula, kaki itu sudah tua."

Wanita itu terkekeh pelan, ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh suster tersebut. Wanita itu kemudian mencoba untuk berdiri, awalnya ia sedikit terhuyung tetapi tak butuh waktu lama wanita itu akhirnya bisa berdiri dengan tegak.

"Kamu setelah ini akan kemana?" tanya suster itu yang berumur tak jauh beda dengan wanita itu.

"Aku akan ke makam bunda."

Wanita itu buru-buru mengambil tasnya dan memasukkan barang-barang yang dirasanya perlu. Tidak lupa ia mengambil bunga yang tadi sempat ia beli sebelum pulang untuk mengganti kaki palsunya.

"Aku duluan ya An. Sudah ditunggu ayah dan Kemi di bawah."

"Oke, hati-hati."

Wanita itu berjalan menuruni tangga dengan hati-hati karena ia masih merasa asing dengan kaki barunya itu. Pelayan rumahnya yang lewat tak lupa menyapa majikannya itu dengan ramah dan wanita itu membalasnya tak jauh beda ramahnya.

Di pintu utama terlihat mobil hitam sudah terparkir dengan rapi. Kimo mempercepat jalannya hingga saat ia sudah dekat, seorang pria yang cukup tua membukakan pintu agar wanita itu bisa masuk.

"Terimakasih Pak Joko," ucapnya saat pria yang dipanggil Pak Joko itu hendak menutup pintu.

"Lama banget," celetuk seorang pria yang merupakan kembaran wanita itu, Kemi.

"Pasang kaki palsu itu tidak semudah memasang baju," balas wanita itu bernama Kimo dengan sedikit gerutuan.

Kemi terkekeh pelan, lalu memilih untuk membaca majalah yang ada di depannya.

Tidak lama kemudian mereka sampai di sebuah pemakaman umum. Kimo, Kemi, dan ayahnya turun sambil masing-masingnya membawa sebuah bunga di tangan mereka. Ayah kedua kembar itu berjalan duluan disusul dengan Kimo dan Kemi di belakang yang bergandengan tangan.

Langkah mereka terhenti saat berada di sebuah makam yang bertuliskan nama sang ibu untuk Kimo dan Kemi, dan sang istri bagi ayah mereka. Mereka berjongkok menatap makam itu dengan pandangan yang menunjukkan penuh kerinduan. Ayah Kimo dan Kemi mengusap tanah makam itu dengan pelan, lalu menyirami tanahnya dengan air. Setelah itu ia bersihkan makam tersebut dari rumput-rumput kecil yang sedikit mengganggu.

Kimo mengusap nisan makam tersebut. Wajahnya berubah sendu, tangispun dipaksa tahan agar tidak memperkeruh keadaan. Bunga yang ia pegang daritadi, diletakkannya di atas makam. Diciumnya nisan itu sekilas, lalu bangkit untuk membiarkan Kemi melakukan hal yang sama dengan leluasa.

"Lo masih sedih kalau ke makam bunda?" tanya Kemi ketika mereka sudah berjalan kembali menuju mobil. Mereka meninggalkan ayah mereka yang masih berada di makam. Selalu seperti itu, ayah mereka akan selalu meminta agar ia ditinggalkan sendirian saja di makam sebelum pulang ke rumah. Kebiasaan yang dilakukan ayah mereka kalau datang ke makam bunda.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang