Treinta y siete

267 23 11
                                    

Kimo datang ke sekolah dengan raut wajah yang datar seperti biasa. Raut wajah yang selalu ia jadikan tameng agar tidak ada yang berusaha mendekatinya atau mengganggunya. Kimo masuk ke dalam kelas, masih sedikit yang baru datang. Masih bisa dihitung dengan jari.

Kimo hendak berjalan ke arah kursi yang biasa ia duduki selama sebulan belakangan ini, namun langkahnya terhenti. Ia baru ingat kalau hubungannya dengan Zea sedang tidak baik dan bahkan perempuan itu sendiri yang meminta Kimo untuk kembali ke kursi awalnya.

Kimo menghela napas kasar, ia berbalik. Ketika ia hendak berjalan, langkahnya kembali terhenti. Sekali lagi ia memegang dadanya karena tiba-tiba saja detak jantungnya terasa menghentak keras. Lagi-lagi ia merasakan jantungnya bekerja tidak normal lagi seperti kemaren.

Sebenarnya gue kenapa?

Kimo menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan kembali melanjutkan langkahnya ke arah kursi awalnya. Maka dengan begitu Kimo resmi kembali duduk dengan laki-laki yang selalu ia sebut bodoh. Kimo kembali sebangku dengan Ray.

Deg.

"Berhenti jantung," gumam Kimo tanpa sadar.

"Mati dong?"

Kimo langsung berbalik ke asal suara. Matanya membesar ketika mengetahui bahwa sudah ada Ray sedang berdiri di belakangnya. Kimo tidak pernah seterkejut ini ketika bertatapan dengan sosok Ray.

Keterkejutan Kimo membuat perempuan itu tanpa sadar menatap laki-laki di depannya lebih lama dari biasanya. Tak jauh berbeda dengan laki-laki itu karena ia juga tidak bisa melepaskan tatapannya dari mata tajam nan dingin milik Kimo. Walaupun begitu tetap saja terlihat tanda kebingungan dari tatapan matanya. Ternyata Ray juga bingung karena tidak biasanya Kimo menatapnya seperti itu. Terkejut, padahal biasanya perempuan itu adalah perempuan yang paling tenang yang pernah dijumpai oleh Ray.

Ray berdeham, kemudian mengusap tengkuknya yang sama sekali tak gatal. "Ada yang salah sama muka gue?" tanya Ray sambil mengalihkan pandangannya dari mata Kimo. Seperti biasa, Kimo selalu berhasil membuat laki-laki itu merasa kecil dan gugup.

Kimo tersadar, kemudian ikut mengalihkan pandangannya. "Gak. Lo bodoh."

Ray membulatkan matanya ke arah Kimo yang sekarang malah buru-buru duduk di kursinya yang awal. Kimo telah kembali.

Ray mengikuti langkah Kimo, kemudian duduk. Kali ini Kimo duduk di arah kursi yang menempel pada dinding, dengan begitu Ray duduk di bagian kursi luar.

Ray kembali berdeham setelah ia meletakkan barang-barangnya. "Lo balik lagi."

Kimo yang berusaha baik-baik saja ketika jantungnya tak karuan hanya diam dan tidak berniat menanggapi apapun yang dikatakan oleh Ray. Tidak ada gunanya dan tidak penting. Dan juga hanya akan membuat jantungnya lebih tak karuan lagi.

"Apa?"

Kimo mungkin kini terlihat sibuk membaca buku, tetapi nyatanya tidak seperti itu. Ia hanya menatap kertas-kertas itu dengan pandangan kosong. Mungkin raga perempuan itu ada di kelas, tetapi tidak dengan jiwanya.

"Temen lo itu jatuh cinta sama si laki-laki bodoh itu. Makanya isi pikirannya cuma si laki-laki itu."

Gue tidak mungkin jatuh cinta dengan laki-laki bodoh ini. Hati gue sudah patah, tidak mungkin kembali.

"Lo udah baikan sama Zea?"

Kimo menoleh ke arah Ray yang ternyata juga sedang menatapnya. Laki-laki itu menunggu jawabannya.

Jangan tatap gue seperti itu. Lo membuat jantung ini tidak bekerja.

"Bukan urusan lo." Kimo kembali ke bukunya dan bersandiwara kembali membacanya.

Ya, dan sosok Kimo pun kembali.

***

Kimo memperhatikan sosok yang masih saja nyaman terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Tatapan Kimo lurus, tidak ada ekspresi yang ia perlihatkan.

Hari ini Kimo tidak menemukan sosok mama Radit yang biasa menunggui laki-laki brengsek itu dengan lelah. Radit adalah laki-laki paling brengsek, tetapi dia beruntung karena masih memiliki mama yang berhati malaikat di sisinya. Radit benar-benar beruntung, sayangnya Radit adalah laki-laki yang tidak tau diuntung.

Hari ini Kimo tidak sendiri, ia ditemani oleh supirnya yang sudah bekerja bersama keluarganya sejak bertahun-tahun lamanya. Bapak itu tau segala hal yang terjadi dengan Kimo dan keluarganya. Biasanya ia selalu tau, tetapi tidak dengan Radit. Bapak itu tidak tau apa-apa, tapi tetap saja ia menduga-duga.

"Mbak Kimo, boleh saya bertanya?"

Kimo menoleh sebentar, lalu kembali menatap tubuh Radit.

"Apa mbak Kimo yang membuat laki-laki itu seperti itu?" Bapak itu bertanya dengan tenang seolah pertanyaan itu sudah biasa ia berikan.

Terlihat Kimo tersenyum miring. Lalu perempuan itu menoleh. "Bukan saya. Dia sendiri yang membuat dirinya seperti itu."

Jawaban Kimo sudah sangat cukup untuk menjawab pertanyaan bapak itu. Tidak perlu dijelaskan, karena setiap kali ia bertanya pertanyaan itu, Kimo akan selalu menjawab dengan jawaban yang sama.

Bapak itu tersenyum, "Saya akan menunggu Mbak Kimo di mobil." Setelah itu bapak itu pergi seperti apa yang dikatakannya. Ia akan menunggu Kimo di mobil saja.

Kimo menatap kepergian supirnya itu dengan datar. Ia tersenyum miring, lalu kembali menatap tubuh Radit. Dalam hati Kimo bertanya-tanya kapan laki-laki itu sadar dari komanya. Terlalu lama laki-laki itu sadar, Kimo tidak suka. Ini akan membuat permainannya menjadi membosankan. Ia memerlukan Radit yang terbangun agar permainan ini menjadi lebih menarik.

Iya, semua ini hanya permainan. Hidup yang dijalaninya hanyalah sekumpulan mainan.

"Lo siapa?"

Kimo menoleh.

Laki-laki itu, Faras, sedang berdiri di depannya sekarang.

"Hanya lewat," kata Kimo singkat.

Faras terlihat curiga. Ia melihat ke arah apa yang diperhatikan Kimo sejak tadi dan ternyata pandangannya terarah ke arah Radit. Faras kembali menoleh ke arah perempuan yang sedang menatapnya tanpa ekspresi.

"Dan kenapa lo melihat teman gue?" tanya Faras.

Kimo tersenyum, "Aneh ya orang asing yang cuma lewat melihat salah satu pasien di sini?" Faras diam, ia tetap menatap Kimo dengan curiga. Kimo melanjutkan kalimatnya, "Sepertinya ada larangan untuk melihat pasien itu?"

Faras kemudian terkekeh. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo benar. Gue terlalu berlebihan."

Kimo masih tersenyum. "Lo adalah teman yang sangat peduli sepertinya?"

"Oh ya?"

Kimo mengangguk. "Gue hanya melihat tanpa tujuan, tapi lo sudah main khawatir."

Faras tertawa. "Lo lucu."

"Tidak sama sekali. Humor lo aneh."

"Kasar juga kata-kata lo untuk orang yang baru gue temui," sindir Faras, tetapi Kimo tidak peduli. kemudian Faras tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah Kimo. "Gue Faras."

Gue tau.

Bukannya membalas, Kimo malah menyeringai kecil. Ekspresi Kimo membuat seringai kecil Faras muncul. Ia merasa Kimo adalah perempuan yang menarik.

"Gue harus pergi. Senang bertemu dengan lo Faras." Setelah itu Kimo berbalik dan pergi begitu saja meninggalkan Faras yang tangannya masih setia menunggu balasan. Setelah Kimo melewatinya, Faras berbalik hanya untuk sekedar menatap punggung Kimo yang bergerak jauh.

Laki-laki itu menjatuhkan tangannya kembali ke sisi tubuhnya. Ia mengusap tengkuknya, lalu tertawa. Faras menertawakan dirinya sendiri. Ia tertawa karena ia merasa baru saja melihat pantulan dirinya sendiri di diri perempuan yang baru saja ia temui.

Faras tertarik. Ia ingin kembali bertemu dengan Kimo. Secepatnya.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang