Diez

732 39 4
                                    

"Gue gak mengerti kenapa dia masih ada di sini, Zi. Kenapa guru-guru gak ada yang menanggapi? Atau guru gak sadar?" tanya Lea, perempuan itu terlihat resah.

"Gue juga gak tau, Le. Abaikan saja. Kerjakan saja latihan lo" kata Zea seolah sibuk dengan tugas yang sedang dikerjakannya sekarang. Nyatanya tidak, perempuan itu, pikirannya benar-benar berkecamuk. Sama dengan Lea, dirinya juga merasa resah tanpa alasan.

"Harus kah gue bilang ke guru? Biar dia diusir? Tatapannya itu lho Zi. Ganggu banget. Gue merasa diawasi" keluh Lea lagi. Ia benar-benar tidak nyaman.

Zia tidak menjawab dan hanya terus berusaha fokus pada pekerjaannya.

Kimo dari belakang, tiba-tiba saja bangkit. Ia terlihat seperti memegang secarik kertas. Ketika ia melewati meja Lea dan Zia, ia melempar kertas itu tepat berada di buku Zia. Dengan santai ia berjalan keluar kelas tanpa sedikitpun menoleh ke arah guru yang sedang mengajar di kelas itu.

"Itu siapa yang main keluar kelas tanpa izin?" tanya guru di depan.

Tidak ada yang menjawab satupun, mungkin juga terpengaruh dengan keresahan yang dirasakan oleh Lea dan Zia. Seperti hantu begitulah, perempuan itu terasa dingin bukan dalam artian sikap saja. Tapi memang benar-benar suhu tubuh perempuan itu terasa dingin saat ia lewat.

"Kertasnya, Zi. Coba baca" kata perempuan itu. Zia menuruti dan membuka kertas yang sudah diremuk-remukkan oleh Kimo tadi. Kening Zia berubah berkerut tanda dirinya tidak mengerti. Melihat keterdiaman Zia, Lea jadi ikut penasaran. Ia ikut membacanya, alhasil keningnya juga ikut berkerut karena tidak mengerti.

"Maksudnya apa?" tanya Lea.

Zia termenung dan menggeleng pelan.

Sudah bahagia menyakiti daging sendiri? Tidakkah cukup ketakutan melihat hasil karya indah yang sudah terlempar ke rumah sakit? Ingin merasakan juga?

Zia mengerti dan sukses termenung.

***
Kimo berjalan dengan santai di tengah koridor yang benar-benar lengang. Tidak ada siapa-siapa bahkan yang terdengar hanyalah hentakan langkahnya. Kelas-kelas seolah terasa sunyi. Mungkin karena kelasnya dibuat kedap suara atau bagaimana, Kimo tidak peduli.

Kimo tersenyum mengingat bagaimana ekspresi terkejut si kembar Zia. Cukup menyenangkan, tapi Kimo berniat untuk tidak merasakannya lebih lama. Ia takut dengan kepribadiannya yang semakin lama membuatnya semakin mirip psikopat.

Fakta yang tidak pernah diketahui siapapun adalah setiap Kimo selesai membalas dendam dan memberikan siksaan kepada manusia-manusia laknat yang dianggapnya bersalah, dia akan selalu menangis. Menangis karena sadar seberapa besar apa yang bisa dilakukannya. Seberapa besar kemungkinan dirinya bisa berubah menjadi psikopat asli.

Tiba-tiba Kemi, saudaranya meneleponnya dan membuat hp Kimo berdering.

"Ya Mi?"

"Lo melakukan apa lagi? Gue dengar lo sudah berhasil memasukkan seorang laki-laki berandal ke rumah sakit?"

"Gue bisa jelaskan..."

"Kasus pelecehan dan tindak kekerasan di gudang. Pemerasan 25 juta?" tebak Kemi yang sangat benar.

Kimo tidak menjawab, ia juga tidak merasa bingung dengan darimana saudaranya itu tau dengan tindakan keji apa yang telah dilakukannya terhadap orang lain. Itu sudah biasa. Kemi selalu tau apa yang telah dilakukannya.

"Bisakah lo berhenti? Lo tau ini sudah mulai berbahaya lagi" Kimo terdiam sampai langkahnya terhenti. "Gue berharap lo tinggal di sana supaya bisa berubah dan menjalani hidup dengan normal. Karena gue dengar kehidupan remaja di sana tidak se ekstrim di sini"

"Itu hanya pendapat lo, Kem. Semua nya sama saja" Kimo berjalan dan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

"Kemi, gue gak mau lo lepas kendali lagi seperti dulu. Kita sudah berhasil mengeluarkan lo dan gue gak mau lo kembali masuk ke lubang yang sama" kata Kemi.

"Gue gak bisa" jawab Kimo dengan singkat dan menurutnya sudah sangat bisa dimengerti oleh Kemi.

"Kenapa? Gue khawatir sama lo. Gue gak bisa melihat lo berubah lagi" Kemi benar-benar cemas sekarang.

"Gue akan menahan, okay. Hidup normal, i'll do it"

"Berbicara memang mudah"

Kimo hanya tersenyum mendengarnya. Tidak ada yang bisa membuat dirinya merasa lebih baik kalau bukan Kemi orangnya. Hanya saudaranya yang mengerti dirinya.

"Kimo, jangan campuri urusan orang lagi. Biarkan mereka menyelesaikan urusannya masing-masing. Mengerti?"

Kembali Kimo tersenyum dan kali ini diiringi dengan tawa ringan, "Iya."

"Lo tau semua yang gue katakan karena gue peduli sama lo kan?" tanya Kemi di seberang sana. "Jangan terlibat lagi. Sudah cukup"

Kimo menghela napas sejenak dan mengangguk. Ia mengangguk, tidak peduli kalau Kemi tidak melihatnya. Ia yakin, Kemi pun tau kalau sekarang dia sedang mengangguk.

"Gue tutup Kim. Nanti kita bicara lagi"

Panggilan pun ditutup oleh Kemi. Kimo memasukkan hp nya ke dalam saku dan kembali melanjutkan langkahnya. Selama berjalan, ia termenung. Percakapannya dengan Kemi membuatnya teringat kembali akan kejadian dulu. Kejadian yang benar-benar membuat dirinya berada dalam posisi terpuruk.

Kimo pun berhenti tepat di depan pintu kelasnya yang tertutup. Ia yakin di dalam orang-orang sedang belajar. Jika masuk pun maka dia harus melewati ceramah guru terlebih dahulu karena lama berada di luar kelas.

Kimo menoleh ke kanan ketika mendengar suara langkah kaki yang terdengar ramai. Langsung terlihat sekumpulan anak laki-laki yang berlarian di koridor yang lengang menuju jalan yang setahu Kimo adalah jalan buntu.

Daripada mendengar ceramah guru yang pada akhirnya hanya membuatnya malu di depan kelas, ia pun mengikuti langkah laki-laki itu, tidak peduli dengan resiko yang akan dihadapinya.

"Lo ngapain ada di sini?" Seseorang menarik lengan Kimo tiba-tiba membuat dirinya terkejut.

"Apa-apaan? Lepas!" Kimo menghempaskan tangan laki-laki yang memegang lengannya.

"Lo gak seharusnya ada di sini. Di sini berbahaya" kata laki-laki itu dengan ekspresi sangat serius. "Lo harus balik ke kelas ya, Kim"

"Kita kenal?" tanya Kimo karena ternyata laki-laki itu mengetahui nama pendeknya.

"Iyalah, gue temen sekelas lo"

Kimo tidak menjawab dan malah memalingkan pandangannya ke sekeliling. Sementara itu, laki-laki itu terus memperhatikan gerak-gerik Kimo.

"Apa lagi yang lo tunggu? Balik ke kelas sana" suruh laki-laki itu.

Pandangan Kimo kembali ke laki-laki itu, ia kembali memasang ekspresi dinginnya, "Dan bagaimana dengan lo?"

"Gue ada urusan"

Kimo mulai tertarik, "Bareng anak-anak yang tadi?"

Laki-laki itu tidak menjawab dan hanya menatap lurus ke arah Kimo. Ia tidak mau memberikan jawaban.

"Raf, cepetan. Dah ditungguin anak-anak" kata salah satu laki-laki yang baru saja melewati keduanya.

"Gue ikut" kata Kimo.

"Gak, jangan" balas laki-laki itu.

"Kenapa? Gue mau ikut" kata Kimo lagi.

Rafael menghela napas dan kemudian mengacak rambutnya karena merasa frustrasi. Tiba-tiba saja laki-laki itu menunjuk sesuatu dengan ekspresi terkejut. Reflek, Kimo ikut menoleh.

Kimo tidak melihat apa-apa. Ketika ia kembali menoleh, laki-laki itu sudah tidak ada lagi ditempatnya.

"Sialan" umpat Kimo namun perempuan itu tersenyum. Ia pun segera berlari menyusul laki-laki tadi yang pasti kabur ke arah jalan buntu.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang