Treinta y cinco

369 24 17
                                    

Dari kecil Ray selalu diajarkan menjadi laki-laki baik yang memiliki hati nurani. Laki-laki yang memiliki komitmen serta tekad, bertanggung jawab, dan peduli. Orang tua Ray, khususnya mamanya yang merupakan motivator terbaik dalam hidupnya selalu mengatakan kalimat yang sama setiap ia merasa tidak baik.

Satu persatu. Selesaikan satu persatu dan semua akan baik-baik saja.

Dan baru saja ia berbagi kalimat itu kepada perempuan yang selalu meminta dirinya untuk menjauh dari hadapannya.

Sesungguhnya Ray sangat tidak tega meninggalkan Kimo dalam keadaan seperti itu. Ditambah ia juga tidak sengaja mendengar pertengkaran Kimo dan Zea yang sepertinya sangat serius. Masalah perempuan dan Ray mengerti untuk tidak mencoba masuk. Seperti apa yang dikatakan Kimo dulu kepadanya untuk tidak mengganggu perempuan itu. Dan ya, Ray mematuhinya. Seperti kata mamanya, sebagai laki-laki kita harus mendengarkan dan mengerti.

Ray berusaha mengerti bagaimana Kimo, tetapi jujur saja hingga sekarang pun Ray tidak akan pernah bisa memahami sosok perempuan dingin itu. Tetapi jauh dalam benak Ray, ia yakin pasti masih ada setitik kelembutan di dalam dinginnya sikap perempuan itu terhadap semesta.

Ada satu lagi yang mama Ray ajarkan kepadanya, yaitu sebagai laki-laki kita tidak boleh membiarkan seorang perempuan menangis. Mama Ray selalu berkata, perempuan adalah makhluk yang lemah, ia hanya memerlukan kepedulian dari semesta untuk menghiburnya. Dan nantinya semesta akan mengirimkan sosok penghibur itu kepada si perempuan yang bersedih. Mama Ray juga berkata kepada Ray untuk tidak menunggu Semesta memilih sosok penghibur, tetapi jadilah sosok sukarelawan kepada semesta untuk menghibur si perempuan yang bersedih.

Langkah Ray terhenti seketika. Ia tidak bisa meninggalkan seorang perempuan yang sedang menangis. Mamanya tidak mengajarkannya seperti itu. Ini salah, harusnya Ray menjadi sosok sukarelawan semesta itu. Ia tidak bisa menunggu sosok lain yang ditunjuk oleh semesta karena yang ada sekarang adalah dirinya, bukan orang lain.

Ray berbalik dan berlari dengan cepat. Tarikan napasnya begitu cepat, ia ngos-ngosan, tapi tidak apa-apa. Ray menghentikan langkahnya, ia lelah berlari. Ray mengusap keringat yang jatuh dari pelipisnya seraya menatap ke arah dimana perempuan itu duduk.

Ray merasa lega, Kimo masih berada di posisi yang sama. Namun ada yang berbeda, perempuan itu menangis. Ia menangis sesenggukan seraya menyembunyikan wajahnya di atas kedua lutut yang perempuan itu peluk. Ray tidak pernah menyangka akan melihat Kimo dalam posisi yang begitu rapuh itu.

Ray berjalan mendekat ke arah Kimo. Ia duduk di sebelah Kimo. Tidak melakukan apa-apa dan hanya diam. Ray hanya menatap lurus ke depan seolah menunggu sampai Kimo menyelesaikan tangisannya.

Kimo merasakan kehadiran seseorang dan ia berniat kabur sekarang juga karena ia tidak mau terlihat rapuh. Ia benci terlihat rapuh karena rapuh hanya akan menjadi boomerang untuk dirinya.

Kimo mengangkat kepalanya, ia menoleh. Betapa terkejutnya perempuan itu ketika ia kembali menemukan laki-laki yang sama untuk kedua kalinya. Ray menyadari bahwa Kimo sudah menyadari kehadirannya. Ray akhirnya menoleh, menatap Kimo yang jaraknya tak lebih dari lima senti. Ray hanya menatap Kimo dalam diam, menunggu dalam diam kata-kata kebencian apa kali ini yang akan dikatakan oleh Kimo. Ray sudah siap dan mulai terbiasa.

"Lo ngapain masih di sini?"

Ray tersenyum kecil. "Sudah lega?"

Kimo berdecak, "Jawab pertanyaan gue dulu."

Ray menggeleng, kemudian berkata, "Jawab pertanyaan gue dulu, setelah itu gue kasih tau deh gue ngapain di sini."

"Buang-buang waktu. Jawaban lo juga tidak penting." Setelah mengatakan itu, Kimo langsung berdiri dan hendak siap-siap pergi meninggalkan Ray. Ia malu berlama-lama bersama laki-laki itu terlebih setelah laki-laki itu melihat kerapuhannya. Kimo membencinya.

"Tunggu dulu." Ray menahan tangan Kimo dan mendudukkan Kimo dengan paksa. Kimo terduduk dan itu berhasil membuat Kimo terkejut. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya oleh laki-laki.

"Lo apa-apaan sih?"

"Gue di sini nungguin lo."

"Hah?"

Ray tersenyum. "Gue diajarkan untuk ga ninggalin perempuan yang sedang melakukan kesenangan seperti ini."

Kimo tidak mengerti. "Kesenangan apa? Kesenangan dari segi apa?" Dah gila kali ya.

Ray terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya seolah menertawakan Kimo. Jujur saja, Kimo merasa sangat kesal. Ia merasa seperti sedang diolok-olok oleh laki-laki bodoh di sampingnya ini.

"Gue kan sudah bilang, menangis itu menyenangkan untuk dilakukan sesekali. Menangis itu kesenangan, kesenangan yang tertunda."

Kimo memutar bola matanya malas. "Bicara lo muter-muter."

"Lo lega kan?"

"Hah?"

Ray tersenyum kecil. "Gue tanya ya sekali lagi, lo merasa lega kan setelah menangis?"

Iya!

"Gue tidak menangis. Gue hanya mengantuk."

Ray tertawa keras sampai ia memegangi perutnya. Kimo membulatkan matanya ketika melihat reaksi Ray. Kimo merasa tidak terima. Kimo marah.

"Lo apa-apaan sih?!"

Tanpa sadar Kimo memukul lengan Ray dengan keras sehingga membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Kekuatan Kimo benar-benar tidak bisa diremehkan.

"Lo laki apa gimana sih? Sakit anjir."

Kimo tidak memedulikan lagi kata-kata Ray selanjutnya. Ia berdiri dan dengan cepat ia berjalan meninggalkan Ray. Ia sangat marah dan malu. Benar-benar malu. Rasanya ingin sekali Kimo melindaskan wajahnya sendiri ke jalanan saking malunya.

Dari kejauan Ray tersenyum melihat punggung Kimo yang menjauh. Entah kenapa rasanya hari ini hati Ray menghangat karena sosok dingin yang seharusnya mendinginkan.

***

Kimo menghempaskan badannya ke atas kasur. Rasanya ia begitu lelah dan lega. Tunggu. apa? Lega?

"Satu persatu Kim. Selesaikan satu persatu. Semua akan baik-baik saja."

Kimo terbangun, reflek tangannya memegang dadanya. Jantungnya terasa aneh ketika mengingat kata-kata laki-laki bodoh itu.

"Hey, sebenarnya tidak apa-apa untuk menangis. Menangis itu menyenangkan. Lo harus mencobanya sesekali." Laki-laki itu tersenyum.

Kimo langsung menampar wajahnya dengan keras. Dia kenapa? Kenapa pikirannya dipenuhi oleh...

Senyuman laki-laki itu.

Kimo berdiri dengan spontan, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Gue udah gila kali ya." Kimo kembali melanjutkan tamparannya, namun kali ini dengan tamparan-tamparan kecil. Ia melakukan itu seraya berjalan ke meja riasnya. Ia memperhatikan wajahnya sendiri. Matanya membulat ketika melihat semu merah ada di pipinya.

"Ini pasti Cuma demam. Gue yakin."

"Semuanya akan baik-baik saja, Kim." Laki-laki itu tersenyum.

"Shut up!" pekik Kimo kali ini malah menyakiti dirinya dengan membenturkan kepalanya ke dinding walaupun tidak begitu keras. Tapi tetap saja sakitnya masih terasa. Ia menutup matanya, tapi ketika ia melakukan itu malah wajah laki-laki itu lagi yang terbayang.

Kimo kembali membuka matanya, lalu tubuhnya pun ia biarkan jatuh ke lantai. Ia duduk termenung, sibuk dengan pikirannya yang mungkin sedang ada yang salah karena isinya hanya dipenuhi oleh laki-laki itu. Ini sungguh aneh, jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Dan setiap laki-laki itu terbayang di kepalanya rasanya ia ingin meloncat dan menghempaskan tubuhnya berkali-kali di atas kasur.

"Kenapa cuma lo?" tanya Kimo yang hanya perempuan itu sendiri yang mengerti dengan kalimatnya. Ia menghembuskan napasnya, lalu memilih beranjak untuk ke kamar mandi. Mungkin Kimo perlu mandi agar ia melupakan senyuman laki-laki bodoh itu. Senyuman laki-laki bodoh yang hari ini terus bertengger di kepalanya. Tidak tau bagaimana besok, tetapi Kimo berharap keesokannya laki-laki itu sudah tidak mengisi pikirannya lagi.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang