Treinta y uno

358 28 7
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore waktu Indonesia Barat dan kafe itu tetap saja ramai dengan pengunjung dari berbagai usia. Laki-laki itu tersenyum ketika ia melihat ke arah jam di tangannya. Karena jam lima sore adalah waktu ia selesai dengan pekerjaan yang baru-baru saja ia tekuni yaitu sebagai pelayan kafe.

"Gue udah selesai Rin," kata Baraq ketika ia tidak berjalan cepat menuju tasnya dan membuka celemeknya yang menunjukkan dirinya sebagai pelayan.

Karin sang kasir yang juga merupakan anak dari pemilik kafe itu mengangkat jari jempolnya ke langit-langit kepada Baraq. Tanda ia mengatakan 'oke' dan 'Ah ya, lo boleh pulang' kepada Baraq.

Secepat dia datang ke kafe itu, secepat itu pula ia pergi meninggalkan kafe itu. Ia lelah sebenarnya dan ia merasa tidak nyaman. Tapi segala hal harus ia coba demi bertemu dengan perempuan yang susah payah sedang ia cari. Alasan klise bila Baraq mengatakan kalau ia bekerja untuk menambah uang jajan. Tapi, Hei! Baraq sudah kaya dan punya cukup banyak uang. Ia tidak perlu bekerja.

Alasan sebenarnya adalah karena saran dari Angga teman sebangkunya. Selain laki-laki itu menyarankan untuk meminta bantuan kepada sepupunya yang tukang hacker itu, Angga juga menyarankan untuk bekerja di kafe-kafe populer yang sering dikunjungi oleh remaja SMA. Karena kalau menurut Angga, bisa jadi Kimo akan datang ke kafe-kafe Bersama teman-temannya seperti remaja lain.

Sebenarnya Baraq juga agak ragu dengan saran dari Angga mengingat Kimo adalah perempuan yang berbeda. Tapi setelah dipikir-pikir, menurut Baraq tidak ada salahnya juga untuk mencoba. Yang penting ia berusaha. Ia percaya dengan kalimat usaha tidak akan mengkhianati hasil.

Baraq berjalan keluar kafe dengan gerakan cepat yang cenderung semangat. Tingkahnya seolah ia baru saja bebas dari penjara. Masih dengan gerakan yang sama, Baraq menaiki motornya. Ia menghidupkan motor besar dan dengan kecepatan sedang membelah jalanan Jakarta yang ramai.

***

"Ini tempatnya?" gumam Baraq bertanya kepada dirinya sendiri. Baraq ditemani dengan motor merah besarnya yang terparkir di sebelah menatap lurus nyaris mendongak ke arah rumah besar mewah yang terlihat ramai sekali karena banyak kendaraan yang terparkir di halamannya.

Baraq kembali mengecek lokasi yang dikirimkan teman sebangkunya, Angga, laki-laki itu mengirimkannya lewat salah satu aplikasi. Kalau menurut yang dikatakan Angga, tempat ini adalah markas rahasia geng Sena dan teman-teman. Tapi bukannya terlalu mewah rumah sebesar ini jadi markas?

Ketika Baraq masih sibuk dengan pikirannya seraya menatap mendongak ke arah rumah besar yang pagarnya sedikit terbuka itu, tanpa sadar seseorang keluar. Seorang laki-laki bersama temannya keluar sambil tertawa terbahak-bahak entah sedang membicarakan soal apa. Tak lupa dengan sekantung hitam plastik sampah di tangannya. Laki-laki itu hendak membuang sampah. Dia adalah Adang dan Farel.

"Eh?" kata Farel ketika melihat Baraq. Farel menyenggol lengan Adang yang masih tidak sadar. Adang awalnya kebingungan, tetapi setelah mengikuti arah pandangan Farel, Adang barulah mengerti. Ia kembali malas.

"Lo si bule alay," panggil Adang. Farel seketika merasa malu berada di sebelah Adang.

Baraq yang mendengar sebuah suara panggilan, menoleh. Tidak dipungkiri Baraq sedikit merasa lega ketika bertemu dengan salah satu laki-laki yang tidak terlihat asing, walaupun tetap asing bagi Baraq. Tetapi setidaknya Baraq pernah bertemu dengan Adang ketika di rooftop.

"Eh gue mau cari,-"

"Sena kan?" potong Adang cepat, membuat Farel kembali menepuk dahinya. Adang tidak sopan dan itu membuat Farel malu sebagai sosok teman yang bermartabat.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang