Dieciséis

458 32 2
                                    

Seperti biasa dan seperti berhari-hari sebelumnya, Kimo akan menjadi orang terakhir yang akan keluar ketika bel pulang telah berbunyi. Ketika teman-teman sekelasnya akan berpacu untuk duluan keluar kelas, maka akan berbeda halnya dengan Kimo. Yang dilakukannya di kelas pun terkadang tidak terlalu penting. Hanya duduk di kursinya, memejamkan matanya, dan hanyut dalam iringan lagu piano klasik yang ia bunyikan lewat ipodnya. Menenangkan sekali, membuat pikirannya menjadi tenang walaupun hanya untuk sesaat.

Sudah cukup lama Kimo berada di dalam kelas, sudah saatnya untuk perempuan itu keluar dan berjalan pulang. Perlu diingatkan kembali, Kimo naik angkot sekarang. Semua barangnya sudah ia kumpulkan hingga tak ada lagi yang tertinggal di atas mejanya, ia pun keluar dengan gerakan santai.

Tidak ada lagi yang tersisa, mungkin hanya beberapa. Khususnya untuk murid-murid yang mengikuti ekskul tertentu yang tentu saja Kimo tidak akan peduli itu ekskul apa. Kimo tersenyum simpul ketika melihat siswa lain yang tertawa dan bersenang-senang bersama teman-temannya. Terlihat begitu menarik.

Kalau dipikir-pikir kapan ya Kimo pernah merasakan itu? Ah benar, tidak pernah. Kimo tidak pernah punya teman.

Mungkin bagi beberapa orang, Kimo akan terlihat seperti perempuan yang diasingkan yang menyedihkan. Tapi bagi Kimo itu tidak sama sekali. Sendiri seperti ini terasa lebih menyenangkan bagi pribadi seperti Kimo yang terlalu sering menghadapi orang berwajah palsu dengan berbagai niat ketika dekat. Ya, Kimo benci keramaian karena semua itu dan itu juga menjadi alasan kenapa Kimo sangat benci dengan hubungan pertemanan.

"Raf! Cepet elah! Anak-anak udah pada kumpul!"

"Bentar anjing! Tali sepatu gue lepas!"

Langkah kaki Kimo terhenti ketika melihat dua anak laki-laki yang terlihat begitu tergesa-gesa. Kimo kenal salah satunya, Rafael. Laki-laki yang sok menyelamatkannya kemarin.

Laki-laki itu terlihat berantakan dengan seragam yang tidak ia kancingkan sehingga menampakkan kaus oblong berwarna hitam di dalamnya. Tak jauh berbeda dengan temannya yang satu yang seragamnya ntah pergi kemana. Dan tunggu, sepatu hitam mereka sudah berganti dengan sepatu lain dengan penuh warna.

"Nih aman dah sepatu mahal gue kata Rafael setelah berjongkok karena harus mengikat tali sepatunya terlebih dahulu. Ia pun menatap temannya dengan tatapan jahil yang tiada habisnya, "Yuk caw say." Tuh kan bener. Jahil tiada habisnya.

"Tolol jijik gue, dah kek banci aja lo."

Kimo menatap kedua laki-laki itu dari kejauhan. Kata bodoh terus berputar ketika melihat laki-laki aneh yang satu itu. Iya si Rafael itu, mengingat wajah jahilnya itu membuat perempuan sedingin dan sebengis Kimo jadi bergidik ngeri.

Setelah kedua laki-laki itu menghilang dari hadapannya, Kimo memutuskan untuk pergi juga. Ia harus segera meninggalkan sekolah karena ia harus ke rumah sakit untuk melihat keadaan Radit sekarang. Kalau Radit benar-benar akan sadar, maka ini akan jadi permainan yang sangat seru bagi Kimo.

***

"Bro!" sapa Vino kepada salah satu laki-laki yang berada di ruangan itu. Vino berjalan mendekat, kemudian mereka bertos ria ala-ala. kebiasaan mereka setiap kali bertemu. Laki-laki itu Faras, sahabat karib Radit yang juga merupakan sahabat karib Vino.

"Udah lama gak ke sini. Dah gak peduli lagi lo sama anak-anak?" tanya Faras dengan seringai khasnya. Ya laki-laki itu suka sekali menampakkan seringainya kepada orang-orang.

"Bukan gitu, gue lagi sibuk aja makanya ga main lagi ke sini." Vino duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan itu, kemudian menuangkan segelas minuman keras ke gelas kosong bekas milik Faras. "Gak berubah lo, masih aja minum ginian."

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang