Sena seperti biasa ketika ia merasa tidak baik dan penuh dengan emosi, ia akan pergi merlarikan diri ke rooftop sekolah yang sebenarnya sudah ditutup untuk siswa. Tidak ada yang boleh berada di sana karena ada sebuah kecelakaan yang merenggut salah satu siswa di sana. Oleh karena itu pintu yang menghubungkan mereka langsung ke rooftop ditutup rapat-rapat agar kejadian yang sama tidak berulang.
Tetapi aturan itu tidak berlaku untuk Sena. Sena tidak peduli, mau sekalipun orang-orang mengatakan bahwa rooftop sekolah berhantu, ia akan tetap ke sana. Dimana pun tempat itu, jika tempat itu memiliki rooftop maka langsung lah semua rooftop itu menjadi tempat kesukaannya.
Jangan tanya bagaimana Sena bisa berada di rooftop sekarang--padahal semua akses menuju rooftop ditutup--karena Sena memiliki banyak cara untuk bisa berada di sana. Kalau dia tidak bisa di rooftop seperti sekarang, maka bukan Sena namanya.
"Gue tau lo di sini."
Sena yang fokus menatap ke arah pemandangan gedung-gedung tinggi tidak beralih dari posisinya walaupun hanya sekedar untuk menoleh. Karena ia sudah tau siapa yang datang dan berbicara dengannya sekarang.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Sena dengan datar. Emosinya sudah cukup mereda.
Laki-laki itu yang sebenarnya adalah Adang berjalan ke samping Sena, meniru apa yang sedang dilakukan oleh Sena. "Gue mau liat keadaan teman gue yang babak belur. Kenapa? Gak boleh?"
Mendengarnya Sena mendengus. "Buat apa cari tahu kalau tanpa diliatpun sebenarnya juga udah tau."
"Kalau gue lagi perhatian gini tolong yah dihargai."
Sena kembali mendengus, tetapi ada tawa kecil mengiringinya.
"Masih emosi gak nih? Lo udah bisa diajak ngomong kan? Gue lagi gak mood baku hantam soalnya," kata Adang sambil bercanda.
"Jadi daritadi kita lagi ngapain bege? Makan bersama?"
Adang menoleh, kemudian memukul dahinya seolah sedang frustrasi. "Ga lucu bambang! Aduuh..." Sena terkekeh. "Jangan kek gini ya kalau di depan Rahma, kasian."
Sena mengerutkan keningnya. "Kenapa jadi kasian sih?"
"Iyalah kasian," balas Adang dengan yakin. "Kasian sama lo nya, sok ngelawak, eh garing coy," tambahnya lagi.
"Maaf dulu nih, Rahma menerima gue apa adanya kok."
"Dih bucin amat si Rahma," jawab Adang ngakak. Sena hanya tertawa. Dalam hati Adang bersyukur karena Sena sudah kembali ke sosoknya yang semula.
"Jadi mau cerita gak nih?" tanya Adang sambil menyenggol Sena dengan gaya ala-ala.
Sena mengerutkan dahinya, "Kapan sih gue bilang mau cerita sama lo? Pd amat jadi orang."
Adang berdecak. "Sok rahasia lo, padahal tuh merk kolor lo sebut kemana-mana."
"Bangsat. Apaan sih gaje amat." Adang tertawa mendengarnya.
Laki-laki itu masih belum berhenti. Lagi-lagi Adang menyenggol bahu Sena dengan manja. Menjijikkan memang, tapi itulah Adang. "Jadi gimana?"
"Jadi gimana apa lagi?" tanya Sena mulai lelah menanggapi Adang.
"Lebih asikan gue yang nemenin atau Rahma?"
Sena menoleh dan dengan wajah datar ia menjawab, "Rahma sih."
Bukannya kesal, Adang lagi-lagi tertawa. "Bener juga, dua-duanya kan dah makan bucin. Jadian kek, HTS-an mulu. Lemah!"
Sena hendak memukul Adang, tetapi niat itu ia urungkan ketika dua laki-laki datang dan sedang menatap ke arahnya. Sena menatap Adang dengan tanda tanya dan Adang yang mendapatkan tatapan seperti itu dari Sena langsung menggeleng tanda ia juga tidak tau.
Akhirnya Sena benar-benar memposisikan tubuhnya menghadap dua orang itu dan menatapnya dengan tatapan serius atau mungkin tidak suka?
"Ngapain ke sini? Cuma gue yang boleh ke sini."
"Dan gue juga, ya kan Sen?"
Sena menatap Adang dengan lelah. Laki-laki di sebelahnya benar-benar merusak suasana yang sedang ia bangun. Untung teman, kalau bukan sudah ditendangnya Adang sekarang juga.
"Santai kali Sen, gue sepupu lo juga. Emosian amat sama keluarga sendiri," kata laki-laki itu yang adalah Angga. Ia datang bersama Baraq. "Itu luka lo gak diobatin dulu?"
"Ga usah sok peduli deh sama gue," decak Sena malas. Kemudian tatapan Sena beralih ke Baraq. "Siapa?"
"Client baru."
"Lo ga ngerti amat sama situasi. Dah tau sepupu lo lagi belangsatan gini, sempet-sempetnya bawa client," kata Adang, gayanya lagi sok oke sekarang. Membela sahabat sejiwa, menggelikan juga.
"Yaudah, gue balik aja dah kalau gitu."
"Tunggu," tahan Sena. Ia menatap Baraq dengan teliti. Perlahan ia berjalan mendekat. "Lo anak baru?"
"Iya, gue Baraq." Baraq mengulurkan tangannya.
Sena menatap tangan itu sebentar, lalu kembali menatap ke mata Baraq. "Gue Sena, ga usah jabat tangan. Banci buat gue."
Baraq menarik tangannya lagi, lalu mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia merasa sedikit tidak nyaman dengan sosok Sena. Mengingatkannya akan seseorang. Perempuannya. Hanya saja Sena seperti sosok laki-laki dari perempuannya.
"Lo butuh apa?" tanya Sena sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
"Gue mau nyari seseorang dan Angga bilang lo bisa bantu gue. Gimana caranya?" tanya Baraq.
"Mudah buat gue. Gue bantu." kata Sena yang diam-diam membuat Baraq merasa lega mendengarnya. "Tapi lo udah tau kan dari Angga kalau semua itu gak gratis?"
"Gua tau. Gue bakal kasih uang depan ke lo. Kalau berhasil gue akan bayar lunas, mungkin bakal gue kasih bonus," jelas Baraq mengundang senyum miring Sena.
Menarik, pikir Sena.
"Belagu amat jadi orang lo," celetuk Adang tidak suka dengan Baraq. Kata-kata Adang itu langsung membuat Sena langsung memukul kepala Adang dengan singkat.
"Oke, tapi dalam waktu dekat ini gue belum bisa mulai cari orang yang lo mau itu," kata Sena dengan tenang. "Komputer gue kenak virus serius, jadi harus dibenerin dulu biar bisa jalan kek biasa."
Baraq menimbang.
"Gimana? Masih mau gue bantu?" tanya Sena. Laki-laki itu menunggu jawaban Baraq.
Baraq menatap Sena dengan serius seraya menimbang. Berkali-kali di dalam hati ia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah aman membiarkan orang ini untuk melacak keberadaan Kimo? Baraq hanya takut Kimo jadi dalam bahaya mengingat Kimo bukan berasal dari keluarga sembarang. Ditambah jika Baraq menyebutkan nama belakang Kimo, Baraq takut Kimo jadi bahan incaran mereka.
"Lama amat mikirnya elah," celetuk Adang lagi.
Baraq menghela napas, "Oke. Gue setuju."
Sena tersenyum, kemudian mengangguk. "Siapa nama perempuan yang mau lo cari itu? Mungkin buat pemanasan gue bisa cari pake laptop gue yang lain."
Baraq tersenyum, menyembunyikan kekhawatirannya. "Kimora Hanifza. Namanya cuma itu."
"Oke, jam 10 malam. Paling lambat gue udah nerima uang depan itu. Lebih dari itu, you're not my client."
Baraq tersenyum. Sena tersenyum. Angga tersenyum. Tetapi tidak untuk Adang. Ia tidak suka Baraq, terlalu tampan dan bule. Adang benci bule.
"Dah ah sana lo pergi," usir Adang, tetapi malah laki-laki itu yang turun dari rooftop.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet but Psycho
Teen FictionTerlahir sebagai anak konglomerat mungkin terlihat sangat menyenangkan. Namun mereka tidak tahu senang dan ancaman adalah satu paket yang harus diterima oleh anak konglomerat. Kimora salah satunya, perempuan yang terlahir dari keluarga konglomerat...