Seis

847 60 2
                                    

Lo anggota keluarga Gelbert?" tanya salah seorang perempuan kepada Kimo ketika lagi-lagi perempuan itu terus saja berfokus pada bacaannya.

Kimo menatap kosong ke arah tulisan yang dibacanya, kemudian mengangkat kepala untuk menatap perempuan itu. Seketika yang bertanya jadi gugup karena bertatapan dengan mata Kimora.

"Lo anggota keluarga Gelbert kan? Di sini ada foto lo sedang menghadiri acara perusahaan," kata perempuan itu sanggup membuat sekeliling Kimo pengap karena teman-temannya yang lain mulai mengerubungi Kimo.

Ray yang di sebelah Kimo hanya menatap percakapan satu arah itu dengan tatapan terkejut. Ia menatap Kimo dari samping menunggu tanggapan dari perempuan itu.

"Lo tahu? Hidup lo benar-benar enak karena menyandang nama keluarga tersebut. Semuanya bisa lo dapatkan, ya kan?"

Kimo tidak tahu maksud kata-kata perempuan itu, tapi ia yakin mendengar nada iri ketika perempuan itu berbicara.

"So tell me, apa rasanya jadi anggota keluarga konglomerat?"

Kimo tidak menjawab dan itu justru membuat teman-temannya semakin penasaran saja.

"Kenapa lo pindah ke sini? Bukannya tinggal di Amerika lebih menyenangkan?" Teman-temannya yang lain pun mulai terpancing untuk bertanya.

"Kimo, gimana rasanya saudaraan sama Kemi?"

"Kimo entar sekali-sekali ajak kita ke rumah lo dong ya? Gue punya sekardus kaset drama korea. Lo suka?

"Gimana keadaan mama lo sekarang? Sebenarnya mama lo kenapa? Gue lihat beritanya sesekali di tv dan katanya sejak enam tahun yang lalu?"

Pertanyaan terakhir, berhasil membuat Kimo membeku. Untung saja ia sedang tidak menatap teman-temannya, melainkan menatap tulisan-tulisan yang ada di bukunya. Kalau tidak, mungkin mereka dapat melihat wajah Kimo yang sudah memucat.

"Kalian, udah deh nanya-nanya temen sebangku gue. Berisik parah. Bener ya, kalau cewek udah berkicau bikin telinga sakit aja." ujar Ray yang kemudian menarik tangan Kimo agar perempuan itu ikut dengannya.

"Lo mau bawa Kimo kemana, Ray? Kita belum selesai cerita."

Ray tidak menjawab dan terus saja menarik tangan Kimo agar pergi dari kelas. Entah ide dari mana Ray dengan beraninya membawa Kimo keluar di saat jam pelajaran walaupun kelasnya sedang kosong karena tidak ada guru.

Tiba-tiba Kimo menghentikan langkahnya. "Terimakasih, tapi gue gak butuh semua ini. Gue bisa atasin gangguan--"

"Atasi apa Kimo? Lo sadar kalau muka lo udah pucat tadi?"

Kimo terdiam karena Ray tahu kalau wajahnya memucat tadi. Tidak, Ray tidak boleh tahu. Kimo tidak mau dianggap lemah oleh orang termasuk Ray, pikirnya.

"Pucat? Gue gak pucat. Lo salah lihat sepertinya," sanggah Kimo berusaha untuk tetap tenang dan datar seperti biasanya.

"Gue gak buta. Gue liat. Kulit lo putih dan akan terlihat semakin putih kalau lo memucat. Lo kenapa? Ada masalah?"

Kimo menggeleng. "Gak. Gue gak ada masalah sedikitpun." jawab Kimo.

Ray pun balas menggeleng karena jawaban Kimo. "Mama lo kan?"

"Apa?" Kimo sedikit merasa takut ketika Ray mulai menyinggung perihal mamanya. Tanpa sadar kedua tangannya tengah mencengkram erat sisi seragamnya.

"Lupain aja. Gak seharusnya gue nanya ini. Soal temen-temen tadi, gue yakin lo pasti gak ngerasa nyaman. Makanya gue bawa lo pergi."

"Terimakasih, tapi sekali lagi lo gak perlu ngelakuin itu. Gue bisa atasi ketidaknyamanan gue. Lo gak perlu bantu lagi," kata Kimo dengan menatap lurus ke arah Ray. Ia mengatakannya dengan nada memaksa.

"Wajah lo pucat lagi."

Reflek, Kimo menyentuh wajahnya.

"Gue salah ngomong ya? Apa karena gue nyinggung mama--"

"Gak," jawab Kimo cepat sebelum laki-laki itu kembali menyinggung mamanya. "Gue gak kenapa-kenapa. Ini cuma karena gue belum sarapan tadi pagi, makanya jadi pucat."

"Lo belum sarapan?"

Bersamaan dengan pertanyaan itu, bel istirahat berbunyi. Perlahan-lahan mereka dapat melihat wajah-wajah kusut mulai keluar untuk mencari makan ke kantin. Ray meraih tangan Kimo lagi dan menariknya pergi.

"Lo mau bawa kemana?" tanya Kimo dan jujur saja sejak tadi ia sudah sulit menahan rasa muaknya karena pertanyaan teman-temannya di kelas tadi ditambah dengan Ray yang juga ikut-ikutan bertanya. Jika saja Kimo tidak mengingat kebaikan Ray yang mau membawanya pergi dari kelas, mungkin satu tonjokan sudah ia berikan karena kelancangan laki-laki itu.

"Kenapa kita ada di taman?"

"Kenapa tiba-tiba lo jadi bawel? Hari ini adalah percakapan terlama kita."

Ray mendudukkan Kimo dan Kimo menuruti saja. Ray senang melihat Kimo yang tidak menolak perlakuannya hingga tanpa sadar sejak tadi ia tersenyum kecil.

"Lo tunggu di sini. Gue bakal ambil bekal lo yang ada di laci."

"Gak, gue aja. Lo gak perlu ngelakuin semua ini."

"Lo yakin mau balik ke kelas? Lo mau diserang pertanyaan lagi?"

Kimo terdiam dan memilih menatap lurus ke arah pohon yang rindang dibanding menatap lurus ke arah mata hitam milik laki-laki itu.

"Lo tunggu di sini."

Setelah Ray pergi, Kimo menyandarkan tubuhnya kepada sandaran kursi. Ia berusaha merilekskan tubuhnya yang tanpa ia sadari sangat tegang sejak tadi. Ia menghembuskan napas kasar. Ia tidak mengerti kenapa dirinya ada di sini dan ia tidak mengerti kenapa dirinya mau saja dibawa ke sini. Ini semua karena laki-laki itu. Kimo merasa laki-laki itu terlalu peduli.

Laki-laki bodoh. Lo akan menyesal karena berusaha mencampuri urusan gue.

Ketika Ray kembali dari kelas dengan membawakan bekal perempuan itu, kursi yang tadinya perempuan itu duduki kosong. Perempuan itu pergi. Kimo sudah tidak ada lagi di sana.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang