Diecisiete

557 34 5
                                        

"Mau saya bawakan barangnya, Pak?" tanya seorang petugas bandara kepada seorang laki-laki berparas eropa itu. Laki-laki itu melepas kacamata hitamnya kemudian tersenyum kepada si Bapak. "Tidak usah pak. Saya bisa sendiri. Terimakasih."

Si Bapak tersenyum, kemudian permisi undur diri dari hadapan laki-laki itu. Sudah dari 30 menit berlalu sejak laki-laki itu sampai di negara yang masih berkembang ini dan sekarang ia kebingungan harus kemana. Ia lupa mengurus tempat tinggalnya sebelumnya, laki-laki itu-Baraq- memang bodoh.

Kemudian laki-laki itu mengeluarkan telepon genggamnya. Dengan teliti ia mencari sebuah nama di sana. Ketika menemukannya, langsung saja ia menekan nama itu hingga nada sambung terdengar. Beberapa detik, tidak ada jawabannya. Hingga,

"Hallo?"

"Ma."

"Baraq? Kenapa? Kamu sudah sampai?"

"Sudah, tapi..." Baraq bingung harus berkata seperti apa kepada mamanya. "Aku butuh bantuan mama."

Terdengar suara gelak tawa di sana. "Kamu ceroboh seperti biasa. Tenang saja, semua sudah mama urus. Kamu tinggal nunggu supir namanya Pak Setia. Harusnya dia sudah sampai sekarang."

"Thank god. Can you just give his phone number ma?"

"Sure."

Setelah wanita paruh baya yang dipanggil mama oleh laki-laki itu memberikan nomor seorang supir yang akan menjemputnya, barulah ia menutup teleponnya. Ia kembali menatap teleponnya dan menekan nomor-nomor baru yang baru saja ia ketahui itu. Nada sambung terdengar begitu pula dengan nada dering yang bersahutan dari belakangnya. Baraq pun berbalik dan menemukan seorang bapak yang juga sedang menatapnya.

"Bapak Setia?"

"Mas Baraq ya?"

Baraq tersenyum. Terlihat kelegaan dari raut wajah bapak Setia. Sepertinya Bapak itu juga kebingungan mencari anak majikannya itu.

"Kalau begitu mari saya antarkan menuju kediaman mas yang baru." Baraq hanya mengangguk dan mengikuti bapak itu dalam diam dari belakang.

"Kalau malam masih macet seperti ini ya, Pak?" tanya Baraq ketika mobilnya tidak bergerak sejak 10 menit yang lalu.

"Macet sih Mas, tapi biasanya gak separah ini juga. Masih bisa jalan walaupun sedikit-sedikit," jawab pak Setia dengan tenang. Tinggal berpuluh-puluh tahun di Jakarta membuat dirinya sangat mengerti dengan seluk beluk Jakarta.

"Ngomong-ngomong bapak tau keluarga gelbert?" tanya Baraq ketika keheningan mulai menyelimuti mereka.

"Aduh, saya tidak tahu mas. Kerjaan saya selama ini cuma nyupir jadi tidak tahu soal informasi-informasi seperti itu," jawab pak Setia.

Baraq merasa kecewa ketika mendengar jawaban pak Setia. Sepertinya memang laki-laki itu sendiri yang harus turun tangan mencari keberadaan perempuan itu. walaupun begitu, Baraq sudah cukup senang berada di Indonesia. Sudah sejak lama ia ingin datang dan bersekolah di sini dan akhirnya terwujud. Semua ini karena Kimora, bukankah dia perempuan yang baik?

***

"Gue gak habis pikir sama tuh geng bocah, ngapain dia nyerang kita sih?" tanya Rafael kesal.

"Gue gak tau," jawab Farel yang juga frustrasi. Farel menatap kasihan sebagian teman-temannya yang dikeroyok massal oleh geng sebelah. Memang geng sebelah dengan gengnya bersiteru sejak lama, tetapi tidak pernah mereka menyerang tanpa sebuah alasan seperti sekarang ini.

Black fire nama geng sebelah yang diketuai oleh Radit dan teman-temannya. Tidak jelas latar belakang pertengkarannya karena apa, tetapi Rafael yakin semua itu karena rasa iri geng sebelah kepada gengnya yang tak beralasan.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang