Quince

539 37 2
                                        

Kimo berjalan ke arah tempat duduknya dengan santai tanpa mempedulikan siswa-siswa lain yang ribut karena sesuatu hal yang sama sekali tidak Kimo ketahui. Lagipula Kimo juga bukan tipe perempuan yang kepo akan sesuatu hal. Tapi beda lagi ceritanya kalau kedengaran lewat telinga. Kalau itu mah dinikmatin namanya.

Hari ini mood perempuan itu sangat baik. Sejak kejadian kemarin, dia tidak lagi diantar jemput oleh supir pribadinya, melainkan memilih naik angkot dari rumah. Padahal rumahnya ke sekolah itu jaraknya jauh sampai memakan waktu 45 menit. Jadi ya mau tak mau Kimo harus bangun pagi-pagi sekali demi merasakan hidup sebagai orang sederhana.

"Ada berita baru soal Radit," pekik salah satu siswi di kelas itu dengan girang.

"Apa?" tanya yang lainnya.

"Radit udah lewat dari masa komanya. Sekarang paling tinggal nunggu si Radit nya sadar biar pelaku yang bikin dia jadi kayak gitu terungkap."

Kimo tersenyum mendengar berita burung yang disampaikan oleh teman-teman sekelasnya. Ia sama sekali tidak takut dan cemas jika ada yang bertanya bagaimana perasaannya sekarang. Justru bagi Kimo ini akan menjadi sangat menarik jika Radit kembali sadar. Hal yang lucu adalah mungkin Radit akan berhasil memasukkan Kimo ke dalam penjara, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki itu juga akan masuk penjara karena kejahatan yang telah laki-laki itu perbuat selama ini.

Berbeda dengan Kimo, Zea yang duduk sendiri di belakang sudah bergetar ketakutan dalam diam. Berusaha sekuat tenaga perempuan itu untuk menyembunyikan ketakutannya dengan membaca buku yang sebenarnya tidak menarik sama sekali bagi perempuan itu. Trauma, satu kata yang bisa mendeksripsikan penyebab ketakutan Zea sekarang.

"Gila! Gue penasaran banget sama siapa yang udah bikin orang paling bengis di sekolah sampai koma kayak sekarang! Psikopat kali tuh orang!"

"Tunggu, kalau gitu bisa aja kan orang itu dari sekolah kita. Kan kejadiannya di sekolah, jadi bisa ada kemungkinan."

Persetan dengan kabar Radit, Kimo sendiri nanti yang akan memeriksa bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang. Harusnya dari awal Radit harus tahu bahwa laki-laki itu sudah berurusan dengan orang yang salah.

Seseorang menyentuh pundak Kimo. Kimo yang sejak tadi sibuk dengan bacaannya, mendongak dan menemukan Zea. Zea, perempuan yang selalu terlihat ketakutan di mata Kimo.

Zea tidak bisa menemukan kata-katanya. Dibanding berhadapan dengan Radit, ia lebih takut berhadapan dengan Kimo.

Kimo menghela napas, "Ikut gue," kata Kimo pada akhirnya kepada Zea yang sejak tadi malah menghabiskan waktunya dalam kebingungan.

Zea benar-benar tidak mengerti dengan kepribadian yang dimiliki Kimo. Tidak disangka Kimo membawa mereka ke kantin untuk berbincang. Kantin adalah tempat terakhir yang dipikirkan oleh Zea karena yang terpikirkan oleh Zea adalah Kimo akan membawa dirinya ke tempat sepi yang hanya ada dirinya dan Kimo tentu saja.

"Lo mau minum apa Ze?"

"Hah? Apa?" Zea terkesiap.

"Lo mau minum apa?" Gue yang traktir.

Sekali lagi Zea tidak mengerti dengan Kimo. Bagaimana perempuan sebengis Kimo bisa mengajaknya ke kantin?

"Kim, sepertinya ini bukan tempat yang tepat buat bicara." Zea mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu kembali menatap Kimo, "Rame sekali Kim. Ini masalah serius! Ini soal Radit."

"Gue tau. Bicara aja. Gue gak masalah," kata Kimo sukses membuat Zea menganga.

Tidak, bagi Zea ini tidak benar. Zea tidak bisa menceritakan masalah ini di tempat yang ramai seperti kantin. Masalahnya mereka tidak akan membicarakan soal cowok-cowok ganteng seperti yang banyak diceritakan oleh siswi-siswi lainnya. Ini masalah Radit yang sepertinya sebentar lagi akan sadar.

"Gue gak bisa, mungkin gak sekarang kalau begitu. Gue balik ke kelas aja."

"Lo tidak perlu mengkhawatirkan gue. Lo khawatirkan saja diri lo. Apapun yang gue lakukan, sudah gue pikirkan. Dan menurut gue, menendang Radit ke rumah sakit adalah keputusan paling tepat yang bisa gue buat."

Zea yang tadinya sudah berdiri, cepat-cepat kembali duduk untuk menghentikan apapun yang akan dikatakan oleh perempuan gila di depannya. Zea tidak tahu harus bagaimana lagi kalau ada yang mendengar kalimat yang dikeluarkan oleh Kimo. Tidak perlu menunggu Radit untuk sadar, perempuan ini akan langsung dilempar ke penjara karena ada saksi lain. Benar-benar gila, Zea telah bermain-main dengan sesuatu yang sangat berbahaya.

"Lo tidak perlu khawatir. Lo liat aja gimana gue memainkan permainan yang gue buat. Lagipula nanti untungnya juga buat lo kan?"

"Tapi lo seperti sekarang karena gue. Gini aja, gimana kalau gue aja yang ngaku udah bikin Radit di rumah sakit. Lo bisa terbebas Kim," kata Zea.

Kimo hanya diam. Sama dengan ketidakmengertian Zea terhadap Kimo, maka begitu pula dengan Kimo yang tidak mengerti dengan Zea. Perempuan itu sudah ditolong malah mau menyerahkan diri. Kimo tidak mengerti dengan perempuan naif seperti Zea. Lihat saja sekarang, baru berbicara seperti ini dengan Kimo saja, tangan perempuan itu sudah bergetar ketakutan. Apalagi mau menyerahkan diri ke polisi. Bodoh.

"Lo orang terbodoh yang pernah gue temui."  Zea yang menunduk langsung mendongak karena perkataan Kimo. "Gue sudah memikirkan permainan ini dengan matang dan dengan lo sok menyerahkan diri seperti itu, lo akan merusak semuanya. Bukannya menyelesaikan masalah, lo malah memberikan beban lebih kepada orang," kata Kimo dengan nada bicara yang sangat datar.

"Gue memang bodoh."

"Yes you are. Gue pergi."

Dan Kimo benar-benar pergi meninggalkan Zea sendirian.

***

"Zi!"

Seorang perempuan yang mirip sekali dengan Zea berlari ke arah laki-laki yang memanggil namanya dengan raut wajah yang sangat riang. Siapa lagi kalau bukan pacar perempuan itu yang bernama Vino.

"Kenapa lama sekali keluar dari kelas? Aku jadi lama banget nungguin kamu," kata Vino sambil mencium sekilas puncak kepala Zia dengan sayang. Zia yang diperlakukan seperti itu jadi senang. Ia pun mengusap-ngusap pipi Vino dengan lembut sebagai balasan.

"Tadi gurunya lama banget ceramahnya, makanya lama. Maafin aku ya sayang," ucap perempuan itu dengan wajah yang diimut-imutkan. Vino tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya.

"Kembaran kamu gimana?" tanya Vino yang tiba-tiba malah jadi membicarakan Zea. Zia tidak suka kalau Vino sudah mulai banyak tanya soal Zea. Zia jadi cemburu.

"Kenapa sih kamu tuh suka banget nanya-nanya soal Zea. Aku gak suka ya kamu nyebut-nyebut nama cewek itu!"

"Bukan gitu sayang. Aku kan cuma nanya gitu aja. Soalnya kan kamu akhir-akhir ini jadi jarang banget cerita soal Zea ke aku."

"Oh ya? Jadi kamu mau aku nyeritain Zea terus ke kamu gitu?"

"Nggak gitu sayang. Kamu jangan jadi ngambek gitu dong." Vino berusaha mati-matian agar Zia tidak lagi ngambek kepadanya. Bisa gawat kalau perempuan itu marah kepadanya.

"Eh sayang, ngomong-ngomong Radit katanya udah lewat dari masa koma," kata Zia sambil mengingat gosip yang diceritakan teman-temannya di kelas. Zia tidak terlalu peduli sebenarnya dengan masalah Radit, tapi entah kenapa dia ingin saja menceritakannya kepada Vino. Lagipula Zia tau kalau Radit dulu pernah sering sekali bermain dengan pacarnya itu.

"O-oh ya? Bagus dong berarti kan?"

"Iya, tapi tau gak apa yang seru nya?" Vino yang sedang mengeluarkan motornya, mau tak mau harus menanggapi kata-kata Zia agar perempuan itu tidak marah. Sekalipun ia benar-benar tidak ingin membicarakan segala permasalahan yang berhubungan dengan Radit. Entah karena apa.

"Apa yang serunya?"

"Kalau Radit sampai sadar, pelaku yang bikin dia jadi kek gitu jadi terungkap. Coba deh kamu pikir, punya masalah apa si Radit sampe berhubungan sama orang yang bisa bikin dia sampe koma gitu?"

Vino tidak suka membahas ini. "Yaudah deh Zi. Biarin aja. Yuk kita pulang."

Zia tersenyum. "Ayo!"

Dan ternyata selain Zea, ada Vino yang juga diam-diam tidak mengharapkan Radit untuk sadar.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang