Hunter Presscot.
Aku mengetik nama pria itu di laptop milikku dan tidak beberapa lama kemudian artikel tentang Hunter sudah memenuhi semua page milikku. Berbagai foto pria itu di berbagai macam acara membuatku terpaku. Aku memincingkan mata, berusaha mencari pasangan pria itu, tapi Hunter selalu datang sendiri di setiap acara.
Mataku terpaku kepada satu-satunya foto Ia bersama seorang wanita Asia yang sangat cantik. Aku membuka foto itu dan menemukan artikel tentang mereka berdua.
Reiko Im. Wanita blasteran Jepang–Amerika, mantan tunangan Hunter Presscot. Sebentar, sepertinya aku pernah bertemu dengan wanita itu, tapi di mana. Aku mencari sebanyak-banyaknya berita tentang Hunter dan aku tidak memiliki kesulitan karena apa pun yang dilakukan oleh pria itu selalu menjadi incaran paparazzi. Mataku terpaku kepada foto kedua pasangan itu. Mereka berdua seperti pasangan yang sempurna.
Rasa tidak suka segera merayapiku. Tidak ada keterangan mengapa mereka berdua mengakhiri pertunangan mereka yang sudah terbina selama satu tahun. Hampir tiga tahun, Hunter tidak pernah berkencan lagi dengan wanita lain. What? Apa dia belum bisa melupakan mantan tunangannya? Atau dia seorang homosexual? Tidak, aku bisa merasakan kalau dia bukan seorang gay.
Apa sebenarnya yang diinginkan Hunter? Aku menutup laptopku terlalu keras. Sejak kapan aku peduli dengan Hunter Presscot. Come on, Audrey. He is like Adonis, and you just... Audrey. Ke mana perginya Audrey yang selalu percaya diri dan mandiri? Bukankah seorang Audrey juga tidak mempercayai cinta maupun lelaki?
Handphone milikku berbunyi, membuyarkan lamunanku. Aku menatap layar handphone yang menampilkan nomer yang disembunyikan. Rasa bingung merayapiku. Seingatku, tidak ada seseorangpun yang mengetahui nomer Londonku, kecuali Ryan. Apa aku harus mengangkatnya?
"Hello?" tanyaku dengan ragu-ragu.
"Miss Kosasih?" sebuah suara berat membalasnya. Aku membeku dan dengan cepat mengenali suaranya. Hunter Presscot. Untuk apa dia meneleponku? Dan dari mana dia mendapatkan nomer handphoneku? "Hello? Audrey? Are you okay?"
Aku mengerjapkan mataku dan sekali lagi menghitung sampai sepuluh sebelum menjawab pertanyaan pria itu. "I'm okay. Can I help you?"
Hunter tertawa, membuat kakiku lemas seketika. Apa yang terjadi dengan tubuhku? Hanya mendengar tawanya saja sudah membuatku lemas seketika. "Bisa kita beretemu untuk makan siang?" Aku melorot, duduk di lantai berkarpet ketika aku merasakan kakiku sudah tidak dapat bertahan lagi.
"Okay," cicitku tanpa berpikir terlebih dahulu. Aku sudah terlalu terlena dengan suaranya yang sangat sexy, membuat seluruh tubuhku bereaksi kepadanya.
"Aku akan menyuruh salah satu pegawaiku yang bernama Tanner untuk menjemputmu di lobi bawah jam satu siang. Have a nice day, Angel," ujarnya menutup pembicaraan, bahkan sebelum aku membalasnya. Apa? Angel? Apa aku yang dia maksud? Dan apa aku baru saja menyetujui untuk lunch bersama dengannya?
Gosh. Pria itu dapat dengan mudah mempengaruhiku untuk menyetujui segala permintaannya. Aku melirik jam yang menunjukkan pukul sebelas siang. Shit. Aku segera berlari menuju kamar mandi dan mencoba untuk berpikir secara rasional.
Apa yang aku ketahui tentang Hunter Presscot. Dia adalah salah satu pria terkaya di London di usianya yang masih sangat muda, dua puluh tujuh tahun. Pria itu pernah tinggal di Indonesia selama tujuh tahun di masa kecilnya karena perkerjaan kedua orang tuanya sebelum kembali dan melanjutkan kuliahnya di London
Hunter hampir menguasai seluruh bidang transportasi di London. Bagaimana dia dapat melakukan semua itu? Dan dia ingin menemuiku? Orang sehebat itu? Apa yang diinginkannya dariku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...