ONE YEAR LATER
Aku merasakan seseorang bergerak dengan gelisah di sebelahku, membuatku mulai merasa terganggu. Aku tidak terlalu menghiraukannya dan berusaha untuk tidur kembali. Tapi, gerakan di sebelahku semakin menjadi dan jantungku segera berhenti berdetak ketika mendengar igauan yang sudah sangat kukenali.
"Please, don't kill her. Chris...." Aku segera membuka mataku dan duduk, menemukan mata Audrey masih tertutup tanda iaa masih tertidur. Tubuh telanjangnya sudah penuh dengan keringat dingin dan tubuhnya meronta. "I do. I do. I will marry you..." Aku meringis mendengarnya mengatakan dengan suara ketakutan seperti itu.
Aku segera mengguncangkan tubuhnya dengan panik, berusaha membebaskan dari memori buruk yang masih saja menghantuinya walau pun semua itu sudah berlalu. "Audrey, honey..." Aku mencoba mencubit tubuhnya ketika dia tidak juga terbangun.
"No... please forgive me...." ujarnya dengan suara tercekat, membuatku menggertakan gigi. Air mata sudah mulai menuruni wajahnya.
Damn it. Saat bermimpi buruk, Audrey bukan tipe orang yang akan cepat disadarkan. Sehingga bukan hanya dia saja yang merasakan memori itu kembali tapi begitu pula denganku yang harus mendengarkan semuanya. Aku segera mengambil gelas yang berisi air putih dari meja disamping ranjang kami dan mulai menciprati Audrey menggunakan air.
Mata birunya segera membuka dan menatapku dengan ngeri. Ia bernafas dengan cepat dan aku langsung memeluknya. Aku merasakan tubuh Audrey bergetar di dalam pelukanku. Aku tidak menghiraukan keringat dari tubuhnya yang lengket di tubuhku. "I'm sorry. I'm sorry. Aku sudah berusaha mencobanya..." ujarnya dengan suara bergetar.
"No. no. no. It's okay, Angel." Aku berusaha menghiburnya. Aku tahu seberapa kerasnya selama satu tahun terakhir dia berusaha untuk menjadi normal kembali. Aku tahu kalau wanita disampingku ini telah mengalami mimpi buruk, suara tangisan bersahut dari sebelah kamar kami segera terdengar. Aku segera melepaskan Audrey dari pelukanku, dan turun dari ranjang mengenakan boxer. "Tunggu disini, Angel. Aku akan berusaha menengankan mereka."
Tapi, seperti yang sering dilakukannya – istriku yang keras kepala menggelengkan kepala. Audrey turun dari kasur dan mengambil robe linen berwarna merah dan mengenakannya. Aku sudah akan berdebat dengannya ketika suara teriakan tangisan dari sebelah kamarku semakin kencang. Aku dan Audrey segera keluar dari kamar kami dan menuju kamar sebelah yang awalnya adalah tempat gudangku. Hanya tinggal tiga bulan lagi, sebelum kami pindah ke rumah baru yang kubuat. Sesungguhnya kami berdua tidak mengira mereka akan ada secepat ini, sehingga kami terpaksa meletakkannya di ruang bekas gudang.
Tempat yang dulunya adalah gudang, sekarang sudah terlihat seratus delapan puluh derajat berbeda. Ruangan ini sudah penuh dengan mainan–mainan yang berserakan di seluruh lantai berkarpet yang kuletakkan disana agar si kembar tidak terganggu dengan dingin dan kerasnya lantai.
Aku segera menggendong putriku yang cantik dan sekarang wajahnya memerah akibat tangisan. Audrey segera menuju ke cab satunya, dan mengambil bayi kami yang lainnya. Untuk ukuran seseorang yang mengatakan kalau dia akan menjadi ibu yang buruk, Audrey adalah kebalikannya. Dia adalah seorang ibu yang sangat baik, dan aku tidak akan terkejut saat sepuluh tahun kedepan putriku akan segera mengidolakan ibunya dan putraku akan segera ingin mendapatkan pasangan hidup seperti ibunya.
Tiga bulan setelah pernikahan, dokter mengejutkan kami kalau Audrey telah mengandung. Saat pertama kali, Audrey sempat terkejut karena dia selalu meminum pil untuk menunda memiliki anak. Dia sempat panik dan bertengkar denganku untuk beberapa hari. Audrey menyalahkanku karena dia bisa sampai hamil dan memintaku untuk mengijinkannya menggugurkan janin itu. Bagaimana bisa dia memintaku untuk menyetujui membunuh darah dagingku sendiri? Anak kami berdua?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...