Sebuah belaian di rambutku membuatku membuka mata, terbangun. Aku membuka mataku tiba-tiba setelah mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Aku menatap sekelilingku dengan pandangan liar dan melihat suasana kamar yang masih berantakan setelah pertengkaranku dengan Hunter. Sebuah tatapan intens dari sampingku, membuatku menoleh dan melihat Hunter sedang menatapku dengan tatapan khawatir.
"Hai," ujarku dengan suara serak. Tenggorokanku terasa sakit, setelah berteriak dan meminum vodka. Hunter tidak menjawab sapaanku, hanya menatapku mungkin menunggu ledakanku kembali. "I'm sorry."
"Kau masih marah kepadaku?" tanyanya kepadaku. Aku menatapnya, tidak tahu bagaimana dengan perasaanku sendiri. Apa aku marah? No. Aku sadar, aku marah kepadanya bukan karena pembicaraan kedua mantan partner sexnya atau Reiko – tapi, lebih karena aku cemburu mendengar wanita lain ingin memiliki Hunter kembali. Juga, karena aku terlalu takut untuk jatuh cinta kepadanya. Sekarang, setelah aku menyadari perasaanku padanya, perasaan marah kemarin telah menghilang digantikan dengan perasaan putus asa. Yeah, I'm really desperate.
Karena aku tahu Hunter tidak akan pernah jatuh cinta kepadaku. Perasaanku sekarang lebih kepada putus asa.
Why? Kenapa aku harus merasakan jatuh cinta? Selama sembilan belas tahun hidupku, aku berusaha mati-matian untuk tidak pernah jatuh cinta. Setelah apa yang dialami Kate dan dia juga jatuh cinta kepada laki-laki yang salah, laki-laki yang tidak akan pernah membalas perasaan kami.
Aku menggelengkan kepalaku. Memang benar, aku tidak lagi marah kepadanya. Hunter tampak lega lalu Ia memelukku dengan erat. "Jangan katakan kau akan meninggalkanku. Kau tidak akan meninggalkanku sebelum dua minggu ini berakhir." Aku memejamkan mata berusaha menikmati pelukannya dan meresapi perkataan Hunter. Biarlah, aku membayangkan Hunter mengatakan seperti itu karena dia jatuh cinta kepadaku.
Setelah beberapa menit dengan terpaksa aku melepaskan diri dari pelukan Hunter. Wajah pria itu masih tampak ketakutan. Aku memegang wajahnya dan perlahan mengelus mata, hidung, dan bibirnya. Hunter menutup matanya, menikmati sentuhanku pada wajahnya. Aku berusaha mengingat setiap jengkal wajahnya.
Hunter membuka matanya dan menatapku. Mata kami berdua saling menatap dan hanya seperti itu.
"Kita harus sarapan pagi!" ujarnya.
"Sorry?"
"Sekarang sudah jam enam pagi. Kamu tidur selama dua belas jam."
Aku melongo mendengarnya. What the hell? Aku tidur selama dua belas jam? Kapan terakhir kali aku tidur selama itu? Setelah aku mengingatnya, hampir sejak aku bertemu dengan Hunter aku tidak pernah lagi tidur dengan nyenyak.
"Kamu mau mandi dulu atau kita langsung makan?" tanya Hunter berusaha membenahi rambut yang menutupi wajahku.
"Mandi." Wajahku memerah menyadari tatapannya. Apa nafasku bau? Apa badanku bau? Kemarin aku belum sempat mandi setelah pergi dengan Margareth. Ini juga pertama kalinya kami berdua berbincang-bincang sebelum aku membersihkan diri. "Aku akan kembali," ujarku segera berlari ke kamar mandi.
*******
Ketika aku dan Hunter keluar dari kamar, kami menemukan meja makan sudah terisi penuh dengan keluarga Presscot. Margareth terlihat sedang tertawa mendengar lelucon seorang pria yang memandangi kami berdua. Pria itu berdiri dan menyalamiku. "You must be Audrey."
"Audrey, Mr Presscot. Nice to meet you," ujarku membalas salamannya.
"Please call me, Carl."
Carl terlihat sangat tampan walaupun Ia sudah berumur. Dengan tubuh tinggi masih tampak atletis, mata berwarna hijau gelap, dan rambut cokelat tua seperti Hunter. Aku dapat membayangkan Carl muda pasti juga sangat didambakan oleh banyak wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...