"Hai!" ujarku dengan gugup melihat Hunter berada di depan pintu apartemenku.
"Hai," ujar Hunter tersenyum kepadaku dengan gugup. Ini pertama kalinya aku melihat Hunter sangat gugup. Sebagai seorang CEO yang memimpin ribuan karyawan, mungkin membuatnya selalu terlihat berkarisma dan percaya diri – tapi kali ini dia tampak tidak seperti itu.
"Aunty!" teriak sebuah suara dari belakang Hunter – membuatku menoleh ke belakang dan menemukan Aurely berada di gendongan Henry yang tersenyum kepadaku.
Okay. It is really weird. Bukankah Hunter dan Henry memiliki hubungan sejenis musuh? Tapi, mengapa sekarang mereka datang bersama? "Apa yang kalian lakukan berdua?" tanyaku dengan curiga kepada mereka.
"Kami bertemu di bawah tadi," ujar Hunter menatap Henry dengan curiga. "Kami tidak datang bersama," ujarnya membela diri.
Aku berusaha keras untuk tidak menahan senyum. "Masuklah kalian berdua!" pintaku kepada mereka bertiga. "Henry? Aurely? Drinks?" tanyaku menawari mereka.
"Water, please!" ujar Henry menatapku.
"Berhenti menatapnya!" bentak Hunter kepada kakaknya dengan tidak suka. "Kami berdua akan pergi jadi lebih baik cepat katakan apa yang kau mau bicarakan dan segera pergi dari sini."
"Hunter," ujarku memperingatinya. "Kau sangat tidak sopan."
"Oh, no," ujar Henry berusaha keras untuk menahan tawanya. "Aku disini bukan untuk menemui Audrey, tapi aku ingin menemui..."
"Audrey. Mengapa sangat berisik di luar?" tanya Alexa keluar dari kamarnya dengan rambut acak–acakan dan hanya mengenakan baju tidur seadanya. Diikuti dengan Ryan di belakangnya dengan hanya menggunakan boxernya.
Oo. It is a huge disaster.
Alexa menatap Henry dengan pandangan dingin dan Ryan tampak terkejut mendapati tamu. Henry menatap Alexa dengan pandangan terluka. Bahkan, Hunter tampak memandangi kakaknya dengan pandangan mengasihani. Suasana sunyi tidak menyenangkan sangat terasa di ruangan ini. Aku tertawa dengan gugup berusaha memecahkan kesunyian ini. Tapi, sepertinya tidak ada yang menyadari tindakanku yang berusaha memecahkan kesunyian.
"Hunter. Bukankah kita harus pergi sekarang?" tanyaku kepada pacarku dengan gugup.
Hunter menatapku dengan bingung untuk beberapa detik, sebelum wajahnya menampilkan bahwa dia tahu apa yang kumaksud. "Yes. Lets, go. Baby." Hunter berdiri di sofa dan merangkul pundakku.
"Ehmm. Kupikir aku juga memiliki janjian dengan orang lain dan aku akan pergi," ujar Ryan dengan gugup ketika Henry menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ooo. Are you leaving now?" tanya Alexa dengan nada manja yang tidak pernah kudengar sebelumnya dan aku memiliki dugaan mengapa dia melakukannya. "Bukankah kau tadi bilang akan menginap di sini malam ini?"
Ryan meringis ketika mendengar pernyataan Alexa. Jelas sahabat tololku ini tahu kalau Alexa sedang berusaha keras untuk membuat Henry cemburu. "Aku kira ini bukan saat yang tepat aku menginap disini," ujarnya dengan gugup. "Tunggu sebentar, Audrey. Lebih baik kita ke bawah bersama."
Lalu Ryan segera masuk ke dalam kamar Alexa untuk memakai kembali pakaiannya. Jelas sahabat itu juga ingin segera keluar dari sini. "Lebih baik kita menunggu di luar saja," ujarku tidak tahan lagi berada dalam ruangan dengan tensi menegangkan seperti ini.
"Apakah dia tidak pergi bersamamu, Audrey?" tanya Alexa dengan dingin menujuk Henry.
"Ehmm. Ehmmm." Aku tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan Alexa. Aku menatap Hunter untuk meminta bantuannya. Hunter sudah hendak menjawab pertanyaan Alexa, ketika Henry akhirnya membuka suaranya. Terima kasih Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...