CHAPTER 31

1.4K 122 1
                                    

Tidak. Ini semua hanya mimpi. Ini semua hanya mimpi. Hunter tidak mungkin memutuskan hubungan kami. Aku menggenggam tanganku kuat–kuat hingga kukuku melukai telapak tanganku. Sakit. Berarti ini semua bukanlah mimpi. Ini semua realita. Hunter mengakhiri semuanya. Lagi.

Tidak. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kami sudah sampai sejauih ini dan aku tidak akan pernah setuju untuk melepaskannya.

"It's not over. Kita pasti bisa memperbaikinya, Hunter."

"No. Audrey, please. Demi kebaikanmu lebih kita berpisah." Hunter menatap mataku lurus dan aku bisa melihat betapa sulitnya dia ketika berbicara masalah ini.

"Kau tidak tahu apa yang terbaik untukku," ujarku dengan lirih tapi Hunter masih dapat mendengar perkataanku.

"Yang terbaik untukmu adalah kau mencari pria normal lainnya yang bisa membahagiakanmu bukan pria gila yang akan selalu membuatmu menangis atau ketakutan."

"Kebahagianku adalah bersamamu. Jangan pernah meragukan itu!" pintaku dengan marah.

"Kau akan membenciku ketika kau mengetahui masa laluku," ujarnya menatapku dengan sedih. "Lebih baik kita berpisah sekarang, dibandingkan aku harus melihatmu membenciku."

"Aku tidak akan pernah bisa membencimu. Kau adalah orang terbaik yang pernah kutemui. Kau adalah kiriman Tuhan untukku."

"Aku bukan kiriman Tuhan untukmu. Tidak dengan masa laluku."

Aku menatapnya dengan marah. Dadaku terasa sesak. Aku harus segera keluar dari tempat ini. Aku tidak sanggup harus mendengar perkataanya lagi. "Aku akan meninggalkanmu sekarang. Beristirahatlah. Kumohon, berpikirlah yang jernih saat kau terbangunan nanti. Karena aku tidak akan pernah menyerah dengan hubungan ini."

Hunter tidak menjawab perkataanku sampai aku menutup pintu kamarnya. Kakiku terasa sangat lemas dan aku terduduk di lantai dingin rumah sakit. Aku menutup mulutku berusaha untuk menahan tangisanku, tanganku satunya memegang dadaku berusaha menahan sakit.

Aku teringat kembali kejadian saat aku dan Hunter berpisah. Semua itu mimpi buruk dan aku tidak ingin mengulanginya kembali. Aku merasa ingin mati ketika harus merasakan Hunter tidak berada di sisiku. Dan aku tidak akan sanggup kalau harus menjalaninya sekali lagi.

Demi Tuhan. Apa yang dipikirkan Hunter hingga dia berpikir untuk berpisah dariku? Seberapa burukkah masa lalunya hingga membuatnya berpikir kalau aku akan membencinya? Aku tidak akan pernah menyerah atau melepaskannya. Hunter harus berjuang keras agar aku mau melepaskannya.

Aku segera mengelap air mataku dan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku, sebelum aku harus bertemu kembali dengan Henry. Aku tidak ingin dia bertanya kepadaku alasan aku menangis.

Ketika aku kembali ke ruang tunggu – Henry menatapku dengan pandangan bertanya. Sepertinya, aku tidak dapat menyembunyikan wajahku yang sehabis menangis – tapi Henry tidak bertanya apa pun kepadaku.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Henry kepadaku.

"Dia sedang beristirahat," ujarku pendek.

Henry terdiam dan aku dapat merasakan tatapan matanya yang tertuju kepadaku – tapi aku menolak untuk membalas tatapan matanya. "Apa kau baik–baik saja?"

"Aku baik–baik saja!" teriakku dengan marah kepadanya. Setelah perkataanku barusan seketika perasaan menyesal menyergapku. "Maafkan aku Henry. Seharusnya, aku tidak marah kepadamu."

"Aku tahu. Hari ini merupakan hari yang berat untukmu dan adikku yang keras kepala tidak membantu sama sekali." Henry menatapku dengan tajam. "Lebih baik kau beristirahat di apartemenmu."

Beauty of Possession (REPOST, FINISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang