Beberapa hari kulalui dengan berdiam diri dan tidak mengatakan apa pun. Sejauh ini Hunter tidak lagi meninggalkan sisiku sedikit saja kecuali dia harus berhubungan dengan polisi.
Margareth, Carl dan Aurely juga mengunjungiku – mereka semua berusaha mengajakku berbicara, terutama Margareth dan Carl tapi seperti biasanya aku tidak menjawab atau menanggapi perkataan mereka. Aku tidak bisa melihat wajah Aurely, tanpa merasa bersalah. Gadis kecil itu hanya diam ketika mengunjungiku. Apa dia sudah tahu apa yang terjadi? Apa dia menyalahkanku atas semua yang terjadi kepada Alexa? Dan aku memang pantas mendapatkannya.
Henry tidak mengunjungiku sama sekali dan aku bersyukur karena jujur saja aku masih belum siap menerima segala bentuk kemarahannya karena aku menyebabkan Alexa terluka. Hell, she's my best friend dan karena aku dia menjadi terluka.
Seorang psikiater mengunjungiku untuk mengecek keadaanku. Wanita tengah umur itu berusaha menanyaiku beberapa pertanyaan tapi aku tidak menjawabnya. Aku tidak akan terkejut kalau dia akan mendiagnosaku sebagai penyandang kelainan jiwa dan aku juga hampir kehilangan akalku. Aku bersumpah kalau aku benar–benar bisa gila.
Pada hari kesepuluh sejak aku sadar, dokter tidak memberiku lagi obat tidur sehingga aku diharuskan tidur dengan normal. Dan sejak saat itu mimpi burukku atas penyiksaan Chris dan kematian Kate selalu menghantuiku – membuatku berteriak setiap malam dan menangis tersedu–sedu di pelukan Hunter yang berusaha menenangkanku. Setelah dua malam berturut–turut, akhirnya dokter menyerah dan memberikanku obat tidur setelah melihat keadaanku yang semakin memprihatinkan.
Luka di punggungku sudah mulai mengering hingga tidak menyakitkan lagi kalau aku bersandar di tempat tidur. Tulang hidungku yang patah juga sudah mulai membaik setelah seorang dokter mengoperasiku juga tulang rusukku. Aku bisa melihat wajah Hunter yang marah ketika seorang dokter menjelaskan kepadanya kalau ada beberapa bagian tubuhku yang patah dan harus dioperasi.
Tepat pada hari dua puluh satu sejak aku sadar, saat Hunter dan abuela tidak ada di kamarku – walau pun aku tahu Tanner menunggui kamarku di depan – seorang tamu yang tidak kuharapkan datang kemari.
"Well, Audrey," ujarnya menatapku dari atas kebawah dengan wajah sulit ditebak. Aku tidak merespon kelakuannya yang menjengkelkan. "You look so.... ehm – ugly."
Lalu, dia mengambil sebuah kursi dan duduk di sampingku. "Gila," ujarku pelan.
"Ahhh.. akhirnya kau bicara juga," ujar Reiko dengan nada menyebalkan. "Tapi, menurutku kau yang gila."
"Aku tidak gila!" cetusku dengan tenang. Bahkan, aku sendiri terkejut karena aku mau membalas perkataan seorang Reiko Im setelah aku puasa berbicara selama dua puluh satu hari dengan orang lain.
"Well, kalau boleh jujur kau tampak sangat menyedihkan," ujarnya dengan raut wajah jijik. "Aku berpikir apa yang membuat Hunter masih melihatmu setelah... errr... apa yang terjadi denganmu."
"Apa yang kau lakukan disini Im?" tanyaku dengan marah.
"Ah... Liam menyuruhku kesini dan menceritakan segalanya kepadaku," ujarnya sambil lalu. "Apa yang membuat Hunter masih berada disisimu? Apa karena dia kasihan denganmu?"
"AKU TIDAK PERLU BELAS KASIHAN SIAPAPUN!" teriakku dengan marah ketika mendengar ucapan Reiko.
"Tapi kau memang pantas dikasihani," ujarnya dengan tenang tidak terlihat ketakutan atau berjengit mendengar teriakanku.
"Siapa pun tidak boleh mengasihaniku!" Aku memegang sisi besi kasurku dengan erat.
Salah satu alis mata Reiko naik dengan sempurna. "Ah.. tapi kau sendiri yang memperlihatkan kalau kau memang menyedihkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...