Aku terbangun dengan sinar matahari pagi mengenai wajahku. Tanganku menggapai sisi kananku mencari keberadaan Hunter, aku membuka mataku dan menatap sisinya yang kosong dan terasa dingin. Aku bersumpah aku merasakan bibirnya mengecup lembut dahiku beberapa saat yang lalu. Mungkin aku bermimpi karena dia tidak berada di sini. Aku menajamkan pendengaranku untuk mencari keberadaannya tapi aku tidak mendengar apapun.
Aku memejamkan mataku dan berusaha untuk tidak mengingat kejadiaan buruk yang terjadi enam bulan yang lalu.
Ryan dan Sam akan datang hari ini untuk mengunjungiku. Siapa sangka aku akan menjadi aunty dalam usiaku yang masih sangat muda.
Sedangkan Alexa, aku masih tidak tahu bagaimana keadaannya. Henry dan Alexa masih di Madrid untuk pengobatannya. Sebulan yang lalu, aku baru berani untuk menelepon Henry setelah aku merasa siap akan menerima semua caci maki pria itu karena mengakibatkan pacarnya terluka tapi pria itu tidak marah sama sekali dan malah mengkhawatirkan keadaanku. Aku hampir menangis ketika dia memarahiku karena menolak berbicara dengan siapa pun hampir sebulan. Henry mengatakan kalau keadaan Alexa sudah mulai membaik tapi Alexa masih tidak diperbolehkan keluar dari rumah sakit.
Enam bulan yang lalu saat aku akan meninggalkan kota Madrid, aku pernah berniat untuk mengunjunginya tapi Margareth melarangku dengan mengatakan kalau Alexa masih belum bisa dikunjungi. Aku curiga kalau keadaan Alexa lebih parah daripada yang mereka beritahukan kepadaku tapi setelah Henry menjelaskannya kepadaku – setidaknya aku sedikit bisa memaafkan diriku atas apa yang terjadi kepada Alexa.
Dan yang paling mengejutkan adalah aku mulai berteman dengan Reiko setelah aku memutuskan untuk tinggal dan melanjutkan studiku di London secara permanen. Mungkin terdengar aneh. Tapi, setelah kami berdua memutuskan untuk berdamai ternyata Reiko adalah wanita yang memiliki banyak kesamaan hobi denganku, walau pun aku tidak me seperti dia. Dan alasan lainnya dia adalah satu–satunya wanita yang aku kenal di London.
Setiap seminggu sekali seorang dokter psikologi selalu mendatangi panthouse untuk menerapiku. Mimpi–mimpi burukku selalu mendatangiku hampir setiap malam begitu pula dengan mimpi buruk Hunter yang sekarang semakin bertambah dengan mimpinya ketika kehilanganku juga saat dia membunuh Chris. Walau pun, Hunter tidak merasa Chris patut dikasihani setelah dia menembaknya – tapi Hunter bukanlah seorang pembunuh. Ia masih memiliki hati.
Ketakutanku akan hal–hal kecil seperti pisau, rantai, borgol, dan suara tawa yang hampir mirip dengan suara Chris. Tanpa sadar aku akan sering berteriak dan tubuhku bergetar saat ada sesuatu yang menyerupai saat penculikanku.
Aku melangkah ke luar dari kamar dan menuju ke arah dapur. Aku melirik di sisi kanan pojok ruangan yang terdapat sebuah kamera pengawas yang sedang menyala. Hunter meletakkan beberapa kamera pengawas di dalam mau pun di luar panthousenya dan dia akan menyalakannya setiap kali dia atau Tanner tidak berada di panthouse.
Aku tersenyum menatap pancake bacon berserta segelas susu di atas meja. Aku memakan makanan itu dan tahu bahwa Hunterlah yang menyiapkannya untukku. Setelah menyelesaikan makanku, aku segera meletakkan piring dan gelasku pada tempat cucian. Mataku berhenti pada sebuket bunga lavender pada meja bar. Aku tersenyum dan mencium bunga tersebut, menghirup wanginya dan aku menyadari sebuah kartu disana dengan tulisan tangan Hunter.
Terdengar dentingan suara bel membuatku tidak jadi membacanya. Aku berjalan menuju pintu depan dan melihat dari kaca pintu. Aku melihat wajah Reiko dan Sam, lalu membuka pintu untuk mereka. Wajah Reiko berubah menjadi jengkel ketika menatap bunga yang masih kupegang. "Oh, great. Sebelum kau berkata apapun baca dulu kartu tersebut!" pintanya.
Aku memutar bola mataku dan segera membuka kartu tersebut. Kalau aku tidak mengenalnya, aku pasti akan mengira dia sedang mengejekku tapi setelah dengan terpaksa aku berteman dengannya – aku tahu, begitulah cara berbicara seorang Reiko Im.
My Audrey,
Aku tidak membangunkanmu karena kau tidur dengan sangat nyenyak. Kau harus banyak beristirahat selagi mimpi burukmu tidak menghantuimu. Jika, kau sudah bangun – lihatlah bingkisan di atas pianoku dan kenakanlah. Setelah itu tunggulah Reiko datang dan melakukan sesuatu kepadamu.
Your love,
Hunter
Aku menatap Reiko dengan curiga. "Aku tidak diperbolehkan membuka mulutku," ujarnya. "Bukalah bingkisan itu terlebih dahulu. Aku akan menunggu di kamarmu."
"Dimana Ryan?" tanyaku kepada Sam. Aku menatap perut Sam yang sudah terlihat agak membesar.
"Setelah menjemput kami di airport, Hunter mengantarkanku ke tempat Reiko dan Ryan pergi bersamanya," ujar Sam. "Bisakah aku meminjam toilet?" tanyanya. Aku segera menjelaskan keberadaan toilet di panthouse milik Hunter.
Aku berjalan menuju ruang tamu dan piano hitam. Aku melihat sebungkus parsel besar berwarna perak dengan pita biru diatasnya. Mungkin inilah bingkisan yang dimaksud oleh Reiko. Aku terseyum dan membuka hadiah dari Hunter. Aku menatap bingung dan mengambil benda yang terlipat rapi di dalam parsel tersebut. Sebuah gaun terindah yang pernah kulihat. Gaun berwarna putih panjang berwarna putih tulang.
"Reiko!" Aku segera berteriak sambil membawa gaun tersebut menuju kamarku.
"Apa maksud semua ini?" tanyaku dengan bingung.
"Berhentilah berbicara Kosasih!" pinta Reiko dengan galak. "Kenakan baju rancanganku yang hanya ada satu di dunia ini dan segera duduk di kursi ini."
"Tapi...."
"Hunter ingin memberimu kejutan, Audrey," ujar Sam dengan lembut. "Hunter hanya menyuruhku dan Reiko untuk mempercantik dirimu. Bahkan, kami berdua tidak tahu apa yang direncanakannya."
Reiko menatap galak Sam. Ha. Pasti Reiko berusaha memperlihatkan kalau dia tahu semua apa yang dipikiran Hunter. Aku segera meletakkan baju indah tersebut di atas ranjangku dan segera menuju ke kamar mandi.
*******
Setelah dua jam perang mulut antara aku dan Reiko. Juga, aku merasakan betapa sakitnya pantatku karena selama dua jam nenek sihir itu menyakiti wajah dan rambutku. Akhirnya, acara mempercantik diri ini selesai. Aku meruntuk pelan ketika Reiko memberikan sentuhan terakhir pada blush on ku.
Reiko menatapku dengan senyuman bangga. "Ha. Sudah kukira semua hal yang kulakukan akan terlihat indah. Bahkan, itik buruk rupa pun akan terlihat cantik setelah aku mempolesnya."
Aku memutar bola mataku dan ingin mencekik lehernya. Sam menarik tanganku menuju kaca panjang yang berada di dekat lemariku. "Kau sangat cantik," ujarnya. Mataku melebar ketika melihat bayanganku pada pantulan kaca. Damn, Reiko Im. Wanita itu memang ahli dalam hal mempercantik wanita.
Gaun cantik itu terlihat sempurna di tubuhku. Bagian atasnya terbuat dari kain tile dengan berbagai berlian yang membentuk motif. Gaun tersebut memanjang hingga mencapai mata kakiku. Rambutku telah disanggul dengan sempurna hingga memperlihatkan leherku yang jenjang. Eye shadow berwarna cokelat muda semakin memperlihatkan mataku yang berwarna biru tua, juga lipstik berwarna merah.
"Reiko, sebenarnya gaun apa ini?" tanyaku kepada Reiko yang menghampiri kami.
"Nah, Hunter hanya menyuruhku untuk membuat sebuah gaun formal untukumu," ujarnya dengan bangga. "Dan Hunter menitipkan pesan untukku agar kau segera keluar karena Tanner telah menjemputmu."
Aku menatapnya bingung dan segera menuju pintu depan, membukanya. "Sebentar Audrey. Kau melupakan sepatu kacamu," ujar Reiko membantuku menggenakan sebuah sepatu berwarna perak dengan heels hingga 7 senti. Aku menahan nafas ketika menyadari heels tersebut ditaburi oleh berlian–berlian kecil. Aku tidak berani bertanya kepada Reiko berapa banyak uang yang dihabiskan oleh Hunter untuk memesan semua ini.
"Terima kasih," ujarku kepada mereka berdua. Aku segera keluar dan menemukan Tanner yang sudah tersenyum dan menungguku di luar.
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...