"I'm sorry." Bisikan lembut di telingaku membuatku mengerjapkan mata. Mata abu-abu Hunter menatapku dengan takut. Mataku terasa sakit ketika cahaya matahari mengenai mataku.
Apakah aku akan memaafkannya? Aku tidak tahu. Tidak. Hunter tidak salah sama sekali. Akulah yang salah hingga berani membuat diriku memiliki perasaan lebih kepadanya. "Aku tidak bisa melakukannya lagi, Hunter." Tangisanku mulai pecah kembali. "I can't."
Tubuh Hunter membeku mendengar pernyataanku. "No." Ia memelukku dengan erat. "I'm sorry."
"Kamu tidak salah tapi aku yang salah." Aku berusaha menyembunyikan wajahku di balik tanganku. "Seharusnya aku sadar hubungan kerja kita tapi aku selalu melanggarnya. Aku nggak mau bikin kamu marah lagi."
"Kamu tidak salah. Aku yang salah!"
"Hunter, dengarkan aku! Lebih baik kita berpisah sekarang." Aku menurunkan tanganku dan menatapnya dengan serius. Aku harus mengatakannya walaupun hatiku terasa sangat sakit. "Aku sudah membantu kamu berbohong kepada Margareth. Tugasku sudah selesai."
Hunter memejamkan matanya, tampak tersiksa. "Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu tinggal?"
"Tidak ada. Hubungan kita memang sudah seharusnya berakhir."
"Apa ini karena aku tidak mau menjawab pertanyaanmu?"
"Tidak. Itu masalahmu bukan masalahku. Aku bukan siapa-siapa." Hatiku terasa remuk ketika mengatakannya. Mata Hunter tampak terluka. Bukankah ini memang yang diinginkannya.
"Lily dan Lucy adalah partner seksku setiap aku berkunjung ke Dublin. Mereka cantik tapi mereka gampang untuk ditiduri. Tidak ada yang istimewa tentang mereka berdua. Aku tidak tertarik kepada mereka selain karena kebutuhanku. Aku sibuk. Sangat sibuk. Dan aku tidak memiliki waktu untuk flirting dengan wanita baru untuk kutiduri. Pertama kali aku tidak menyadari kalau mereka berdua adalah sahabat dekat. Tapi, sepertinya mereka berdua tidak peduli kalau aku meniduri teman mereka. Hubungan kami murni karena kebutuhan bukan karena perasaan."
Aku menganga mendengar pernyataannya. Hunter menjawab salah satu pertanyaanku yang kutanyakan kepadanya secara sukarela. "Aku tidak melakukan hubungan threesome dengan mereka berdua. Aku lebih suka menikmati seks dengan hanya satu orang saja sebagai partnerku."
Wajahku memerah mendengarnya. Shit. Audrey, bukankah itu pertanyaanmu kemarin malam kepadanya dan dia menjawabnya. Mengapa sekarang kamu menjadi malu sendiri mendengar jawabannya. "Oh. Dan aku tidak menyukai sex toy. Aku tidak suka berbagi, walaupun hanya dengan mainan."
Sekarang aku dapat merasakan gelenyar aneh dari bagaian bawahku. Perkataan kotor Hunter mampu membuat libidoku semakin meningkat. Bagaimana bisa beberapa waktu lalu aku merasa sedih dan sekarang aku merasa sangat terangsang. Hunter mampu membuat perasaanku menjadi jungkir balik.
"Bagaiamana?" cicitku pelan membuat Hunter menaikkan salah satu alis sempurnanya. "Bagaimana bisa kamu menahan diri selama satu minggu ini?"
"Maksud kamu selama sepuluh hari? Aku sudah tidak melakukan seks selama sepuluh hari," ujarnya dengan tatapan mata menggelap. "Oh aku sangat menginginkannya. Aku sangat menginginkannya denganmu. Dari awal aku melihatmu yang kuinginkan hanya bagaimana cara agar kau dapat berteriak memanggil namaku."
Aku merasakan nafasku semakin berat dan udara di sekitarku terasa sangat panas. "Lalu mengapa kamu tidak melakukannya?"
"Karena aku tahu kamu tidak ingin melakukannya." Hunter mencium tanganku dengan lembut. "Mungkin aku bisa menggunakan pengaruhku agar kamu melakukannya. Tapi kamu pasti akan menyesal setelah melakukannya." Ia merapikan rambutku dengan lembut. "Dan hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah melihatmu sedih." Ia mengecup dahiku agak lama dan aku memejamkan mataku merasakan mulutnya yang lembut. "Don't leave me!."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...