ALEXANDRA HARVARD>>
................................................................................................
Hari-hari setelah Hunter Presscot terasa seperti neraka bagiku. Sekarang, aku menyadarinya hidupku sebelum Hunter hanyalah seperti masa kosong. Aku tidak pernah tahu apa yang ingin kulakukan setelah ini. Yang kuinginkan hanyalah sendirian di apartemenku tanpa gangguan siapapun.
Aku berusaha keras untuk tidak mencari berita tentangnya dari internet. Aku memutuskan hubunganku dari segala elektronik maupun dunia luar. Aku tidak ingin mendengar berita tentang berakhirnya hubungan kami berdua dari surat kabar, internet maupun televisi.
Yang kuinginkan saat ini hanyalah menangis, meratapi nasibku karena telah jatuh cinta dengan amat sangat dengannya, juga mengingat tentangnya. Mata abu-abunya yang berbinar gembira, marah melihatku melawannya, tatapan intens yang selalu tertuju kepadaku. Rambut cokelat tuanya yang selalu tampak berantakan, seperti seorang yang habis bercinta. Mulutnya yang penuh, ketika mulut itu menciumku rasanya seperti aku berada di surga.
Crap.
Air mataku mulai keluar lagi ketika aku mengingatnya. Tapi, seperti orang kecanduan aku tidak bisa tidak mengingatnya. Bagaimana kau bisa melupakan seseorang? Jika orang itu adalah oksigen yang kamu perlukan untuk bernafas. Aku perlu untuk mengingatnya, setiap jengkal dirinya agar aku dapat bertahan hidup hari demi hari. Dia bagaikan narkoba yang membuatku kecanduan akan kehadirannya. Aku tidak bisa hidup tanpa dirinya.
Tidak. Mungkin aku bisa hidup tanpa dirinya tapi aku tahu aku tidak akan pernah sama lagi seperti Audrey yang dulu. Bagus. Karena dia membuatku benar-benar menjadi Audrey yang tidak akan pernah lagi mempercayai namanya cinta. Jika itu adalah misinya, maka dia berhasil melakukannya.
Aku tanpanya seperti tubuh tanpa jiwa.
Mengapa dia tidak bisa mencintai orang lain? Bahkan, kalau saja dia memberikanku sedikit kesempatan untuk mencintainya – aku akan melakukannya, walaupun aku harus menunggunya hingga bertahun-tahun. Aku tidak peduli dengan pemikiran orang lain ataupun menyadari bahwa tindakanku benar-benar seperti pengemis. Seandainya saja dia memberiku kesempatan tapi dia tidak memberikannya sedikitpun kepadaku.
Masih teringat jelas suara tawanya yang membuatku ikut tertawa. Rangkulan posesifnya pada bahuku ketika kami berdua berjalan. Tangannya yang selalu mengusap rambutku dengan lembut. Aku menangis semakin keras mengingat semua momen-momen kami bersama. Bahkan, aku tidak peduli jika Alexa mendengarku menangis.
I miss him.
I love him.
I need him.
Tapi mengapa dia tidak menginginkanku seperti aku menginginkannya?
*******
"Hey, darl" Alexa memelukku ketika akhirnya aku keluar dari kamar apartemenku setelah selama satu minggu mengurung diriku terus di dalam. Tercium aroma kopi di ruang tamu. Aku memang selalu keluar dari kamar ketika dia tidak ada di apartemen. "Are you okay? Apa kamu mau menceritakannya kepadaku tantang semua kekacuan ini?" Alexa menatapku dengan tatapan prihatin.
Memang jika dibandingkan dengan dirinya yang terlihat rapi, aku tampak seperti makhluk paling menyedikan yang pernah ada. "Jangan!" ujarku dengan suara serak.
"Darl. Kamu tahu kan kalau aku akan selalu mendengar ceritamu. Dan aku nggak akan membiarkan orang lain melukai kamu." Alexa memegang tanganku, seolah-olah memberiku kekuatan. Aku terharu dengan perhatiannya. Dari dulu, aku tidak memiliki sahabat perempuan, sahabat terbaikku hanyalah Ryan. Dan dia adalah laki-laki, walaupun sedikit. Ehem. Banci. Tapi, tetap saja dia adalah seorang laki-laki. "Aku nggak pernah melihat kamu sehancur ini. Apa ini karena Hunter Presscot? Bukannya kamu bilang kalau hubungan kalian hanyalah bisnis semata tanpa ada campur tangan perasaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Possession (REPOST, FINISH)
RomanceHunter Presscot, the most wanted bachelor meminta bantuan Audrey Kosasih seorang pianis muda untuk menjadi tunangan palsunya. Semua rencana mereka berjalan dengan baik, hingga suatu perasaan baru membuat dua anak manusia merasakan apa yang dinamakan...