Hijau
Tiap kali meloka ke netra itu, damai terus menderaku
Buat tiap keping dalam juita ini tak henti bertanya, "Apakah jiwa yang mala ini tengah merasa damainya surga?"Hujan dan senja
Dua cangkir kopi dan dirimu yang kupuja
Sungguh kesempurnaan yang tak akan pernah kuinginkan 'tuk perlinaPatera kering yang jatuh diterpa angin
Bukan satu-satunya saksi kita hanya untuk satu sama lain
Pun bukan satu-satunya di tengah sorotmu yang memaku tatapku menjadi penyelinapan klandestin"Kita" memang nyata
Seindah untaian aksara dalam rapal doa
Buncahkan bahagia walau semburat jingga pengiring hujan t'lah sirna
Juga tetap hangatkan jiwa walau tetes kopi t'lah tandas tak tersisaKarena seugahari tangan kita yang mengukir rasa dengan embun di jendela
Semudah itulah dalam hatiku kau bertahana
Serumit itulah dalam takdir kita mengeladau asa
Pun sesulit itulah kau dapat kembali nyataKekasih
Terlalu singkat manis itu dapat kureguk dan tinggalkanku hingga ringkihJuita
"Selamanya" terlalu lama untukmu terbuai dalam nideraLaksana jentayu menantikan hujan
Aku masih di sini menantimu dengan doa dan harapan
Walau kutahu pancasona itu hanya bualanMalaikatmu seberinda kembali mengangkat jemala dengan jemawa
Atas jangkaku merengkuhmu mereka ucapkan kerama
Namun satu yang kutahu pasti
Dengan sorotmu yang masih terpaku dalam ingat ini, kau tetap ada 'tuk mencuca walau tak lagi pegariKarena seindah damaimu yang kutemu kala suri
Di tengah pedih yang didera dunia ini
Sosokmu tak pernah tergantikan 'tuk merajai
Walau sejak hampir dua tahun ini, kutahu sosok itu hanya khayali5 November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?