Tawa dunia
Seri bahagia yang betebaran di mana-mana
Iringi hariku
Tanpamu yang hanya mampu kurinduDenting masa
Paksakan bahagia
Dan aku pun menelannya
Membuat perlina segala nestapaKala itu,
Kamu pun meminta bahagiaku
Walau tahu pasti
Ada lubang besar yang tak mungkin mampu kuobatiSemburat jingga sang aftab yang mulai tenggelam
Rintik hujan penuh syahdu yang untaikan berjuta kedamaian
Dan bahkan rona hijau sang zamin yang pancarkan keindahan
Menjadi alasan yang kau beri padaku 'tuk gapai kebahagiaanNamun ... kapan kamu mengerti?
Kapan dunia memahami?
Bahwa meski tetap mampu kuraih bahagia
Semua tak akan lagi samaKarena kamu hanya semu yang kupaksa
Kamu adalah segala harap yang kuharap menjadi nyata
Sialnya,
Kamu juga khayali yang tak akan pernah kembaliDan meski kamu tak lagi pegari
Rasaku bukan alobar yang dengan cepat berlari
Pusaran yang menggerogoti jiwaku tak mau menyerah semudah itu
Karena kamu sungguh bukan hal yang mampu berhenti kurinduSemua menuntut bahagia
Tak mau tahu apa pun alasannyaNamun bagaimana bisa
Dua bangku terasa sama
Saat salah satunya hanya terlingkup hampa?Bagaimana mampu
Hujan dan senja terasa sesempurna kala itu
Jika yang membuatnya demikian telah terkikis waktu?Dan bagaimana bisa
Jantungku mendebarkan hal yang sama
Jika bahagia itu t'lah didekap erat pusaran tanpa urna?Namun ... sudahlah
Biar hanya aku yang mengetahuinya
Bahwa dalam beberapa sunyi, aku masih merapal harap itu
Aku masih merasa nestapa yang persis seperti dulu kala mengingatmuKamu mau tahu mengapa
Rona senyum alamin tak mampu berikanku utuhnya bahagia?
Kemarilah--walau kutahu kamu tak bisa
Kuberitahu alasanku meringkuk manja dalam hampaJawabannya hanya satu
Tentang buaian menenangkan sang waktu akan nestapaku
Juga semua rayuan menggoda akan ketiadaanmuYa, selalu hanya satu
Yaitu karena kehilanganmu tak pernah sesederhana bayang utopisku14 Februari 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?