Untukmu yang menganggapnya sebagai bahan guyonan; dariku yang mungkin jadi bagian dari mereka.
Mungkin iman kami memang tak setebal punyamu. Mungkin kepintaran kami hanya sebatas dengkul. Mungkin akal sehat kami telah tersetai-setai tanpa ampun. Mungkin kami terlalu mudah menyerah dan sangat tak bersyukur. Mungkin kami memang terlalu sensitif hingga ke pangkal ubun-ubun.
Namun ... ini dariku--mungkin merupakan bagian dari hamba-hamba lain yang kamu tertawakan itu.
Kami berangkat dari balik layar yang berbeda-beda. Tak seperti punyamu yang berlatar jingga, punya kami berlatar pekat tanpa urna. Mungkin kami memang sebodoh itu hingga jiwa sendiri pun tak mampu dikekang dalam kendali. Mungkin kami memang secendala itu hingga mau hilangkan nikmat Tuhan yang selalu jadi saki--si nyawa itu sendiri.
Tapi mungkin saja, kamu juga belum merasakan beberapa hal yang telah menarik kami kuat dalam pusar perenggut jiwa. Mungkin kamu belum pernah merasa ditendang banyak orang, dilempar barang-barang busuk di tengah kerumunan, dipukul dengan balok kayu besar oleh mereka yang mengaku sebagai teman, dipatahkan si tulang karena alasan yang kamu tak tahu dari mana berasal, juga hampir kehabisan napas karena sang leher dijepit di antara penutup toilet perempuan. Mungkin kamu belum pernah merasa berada pada semesta yang benar-benar bukan jangkamu 'tuk jalaninya. Mungkin kamu belum pernah merasa terbangun dengan asa baru hanya untuk membuka pintu dan menerima pandangan-pandangan cemooh itu. Mungkin kamu belum pernah dibungkam seluruh johan tanpa ampun. Mungkin kamu belum pernah beranikan diri untuk bersuara dan lepas segala kungkung hanya untuk terima jutaan hinaan baru. Mungkin kamu belum pernah memilih menggenggam hipernova daripada biarkan hamba lain terima si supernova. Mungkin kamu belum pernah merasa paling tak diterima dalam tempat yang kamu sebut sebagai rumah. Mungkin kamu belum pernah paling dijatuhkan oleh orang yang harusnya paling membantumu raih kebangkitan. Dan mungkin juga, kamu belum pernah dirampas segala saki kehidupan tanpa sesiapa pun sudi memperhatikan.
Benar, itu hanya mungkin. Lewat ucap yang melambung tinggi, mungkin kamu memang lengkara tak pernah mengalami itu semua namun masih bisa mengangkat jemala dengan jemawa.
Namun sekali lagi, ini dariku--hamba yang jujur saja masih tenggelam dalam isapan kuat sang lumpur.
Jiwa kami sungguh rusak. Mental kami telah lama terkubur dalam zamin yang telah berkerak. Namun sungguh, kami tak ingin kalian memahami. Kami telah terbiasa ditendang oleh semesta sana-sini. Kami juga tak ingin menjerit bahwa kami adalah orang yang paling menderita di muka bumi. Karena sungguh, kami pun telah kehabisan atensi.
Namun jika boleh, sebagai hamba yang sama-sama telah terbakar di kutub sana, aku ingin meminta sesuatu kepada kalian.
Jika memang kami terlalu bodoh, tak bersyukur, dan berlebihan, tak usah katakan. Kami sudah amat sangat mengetahui segala kenyataan.
Jika memang kamu tak peduli, silakan pergi. Mari sama-sama lenyapkan atensi dan merangkak di jalan sendiri-sendiri.
Kami sama sekali tak ingin mencampuri urusanmu. Jadi, sebagai balasan, kuharap kamu juga begitu.
Jangan asal tertawa. Jangan asal lemparkan hina. Semesta kami sudah penuh akan mereka. Jadi, kamu tak perlu lagi menambahkannya.
26 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?