Tragis
Pusaran terus mengikis
Namun kesadaran hanya bisa meringisHilang bersama semua hak
Semua masih menggayuti benak
Dan ini bukanlah hal yang mampu dielakKala napas yang dipunya makin miskin
Pencabutan nyawa klandestin
Selalu berhasil menyeret yakinHarap yang bercempera
Karena tak ada sinar mencerca
Hanya menunggu ajal menyapa
Sembari menatap gelapnya mentari menerpaOh, sial
Itu hanyalah bualLangit malam pengganti siang
Berteman pekat penuh gemintang
Mungkinkah mengubah yang telah tertuang?Kuat yang terkandung baja
Yang bertahta di tiap sisinya
Dapatkah berharap sekali saja?Dan ... sial!
Itu hanya pertanyaan bodohNamun ... astaga
Pengecut hanya bisa berandai
Saat jelas-jelas terdapat anggai
Bahwa semua memang telah usaiDentingan melodi
Seolah menjadi bukti
Bahwa masa akan membawa matiTerus berangan semu
Berteman teriakan bisu
Berusaha menenggelamkan diri dengan mengikat batu
Hanya itu yang dilakukan untuk berlaluApa mungkin itulah inginmu?
Ah, tidak, itu hanya karena bodohku
Dan aku memang pengecut ituIroni?
Silakan hakimi
Biar kuketahui bersama sunyiTetaplah cerca aku
Dalam tiap denting yang bertalu
Karena dengan begitu
Mungkin kesadaranku akan sepenuhnya tersapuTak perlu lagi kau simpan semua
Katakan yang sebenarnya
Aku telah terbiasa
Karena dari awal, aku tak pernah memintaSudah kukatakan
Dirimu tak perlu kaulibatkan
Tak ada yang keberatan
Karena sejak awal, kau bukanlah yang diharapkanDan kini
Saat kau telah sampai sejauh ini
Biar kutegaskan kembali
Bahwa dari awal, semua bebas memaki
Seperti dirimu
Yang bukan siapa-siapa bagiku sedari dulu
Walaupun mungkin segalanya di duniamu ituMasa sialanku bersamamu,
31 Agustus 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?