Kemarin--di jalan pulang yang biasa terlewati angin--kutemukan tangisan gadis kecil tentang harga dirinya yang direnggut dengan tanpa satu pun kendali.
Aku melewatinya saja tanpa rasa prihatin barang satu dengan gerutuan sambil lalu, "Kamu pantas mendapatkannya karena rok mini itu."
Esoknya, di tempat yang sama, kutemui pemandangan berbeda. Sang gadis tak lagi tenggelam dalam sedu-sedan. Sebaliknya, dia terlepa dengan cendera setelah solar itu ia tenggak.
Di hari lain, kutemui pengemis di pinggir jalan. Dia meminta sepeser uang untuk makan. Namun karena buruknya sangka, aku begitu saja melewatinya.
Pikirku, dia seperti pengemis lainnya--berkedok kelaparan hanya mengenakkan diri untuk mencari harta bergelimang.
Namun ternyata, tak lama setelahnya, si pengemis meninggal. Ternyata benar, dia kelaparan.
Di hari lainnya, kulihat seorang teman yang karena kepintaran menyebalkannya dirundung semua orang. Lalu, di tempat lain yang sungguh tak berpenghuni, kulihat dia menggenggam tali tambang di bawah pohon besar. Namun tanpa beban, dia begitu saja kutinggalkan. Pikirku, aku sudah memiliki banyak urusan.
Ternyata, seminggu setelahnya, urusanku memang bertambah. Aku diam-diam mengamati nisannya dari balik bayang sampai malam karena juta penyesalan.
Dan itu semua memang dariku--beberapa orang yang kehabisan atensi namun hanya bisa menghujat tanpa ampun, lalu alami sesal yang sangat susah berlalu, untuk kemudian dipertemukan dengan si perangkai kata-kata di atas sana yang baru menjumpa netramu.
28 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?