Awalnya, kita bertemu dengan cara sederhana. Tetangga baru yang menyapa di tengah jalanku ke sekolah. Tersenyum sangat lebar dan seketika uluran tangannya kutolak mentah-mentah.
Namun bukannya pergi dan anggapku aneh setengah mati, kamu malah terlihat senang sekali. Tiap pulang sekolah selalu menyeretku untuk berlarian, memaksa untuk menemanimu belajar mengendarai sepeda, selalu menghindarkan dari mati yang sangat kudamba, hingga akhirnya menyadarkan bahwa bunuh diri bukan satu-satunya cara. Entah karena apa ... dengan naifnya kamu selalu ada.
Kemudian masuklah kita pada babak yang jauh lebih sederhana. Hanya kita di beranda. Membicarakan semua hal, membaca buku dalam diam, berlomba memakan es krim cokelat, hingga saling membantu dalam menghitung bintang.
Semuanya ... sederhana. Terlalu utopia. Namun kita benar-benar secara nyata merasa. Dengan naifnya--saat masih hanya dua bocah--selalu bergandengan tangan seperti kembar siam. Bahkan secara gamblang menyatakan bahwa masa depanmu adalah aku, dan masa depanku adalah kamu.
Benar-benar sesederhana itu. Tanpa syarat apa pun.
Hanya ... kita. Kita yang selalu ada, kita yang selalu tertawa, kita yang selalu bicara, kita yang selalu menguliti fakta, kita yang punya mimpi sama sekaligus berbeda, kita yang tak pernah menuntut apa-apa, juga kita yang selalu anggap semua tempat adalah rumah jika satu sama lain di sana.
Namun saat kuingat lagi itu semua, fakta bahwa kamu telah tiada ... masih terlalu mampu untuk menghancurkanku ternyata.
Bintaro, 11 Mei 2019
Kertas Usang
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PuisiKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?