Satu denting, dunia yang kutahu tersepai dalam keping.
Aku tenggelam dalam keanggaraan samudera. Tanganku terikat oleh baja. Mulutku terjahit oleh cairan kubang dosa. Aku sungguh hanya bisa terdiam. Jadi, tolong, selamatkan!
Dua denting, semesta dalam pandangku tak lagi terbentuk puing.
Aku terus menjerit dalam hati, "Masih ada terlalu banyak hamba yang harapkanku sampai ke tepi!" Jadi, aku menggerakkan kaki. Kugerakkan segalanya ke sana-sini. Nasihat-nasihat bijak makin buatku tak berhenti. Jadi, kuabaikan nasihat iblis tentang segala ikatan yang membelenggu gerak dan hanya akan buatku makin hancur dalam menyapa ajal.
Denting berikutnya, wujudku makin menipiskan sisa.
Namun sedetik sebelumnya, masih terngiang-ngiang nasihat sang iblis di kepala, "Kamu sudah sampai di tengah. Pilihanmu hanya dua: abaikan hamba lain dan egois untuk jadi kunarpa penuh kedamaian atau tetap keras kepala acuhkan mereka untuk meleburkan diri dalam napas akhir yang tersisa."
Jadi, dalam denting lain yang mungkin tak bisa kugapai lagi, akal masih saling memerangi.
Dalam yojananya yang terlalu aksa dengan semesta, mereka saling menyalahkan dan tertawa. Tak ada yang benar, nyatanya. Benar-benar tak ada. Karena sekali lagi, hanya dua pilihan yang kupunyai.
Selamatkan diri; biarkan semesta murka serta bahagiakan semesta; ledakkan diri tanpa sisa.
Keduanya tak dibenarkan.
Jadi, sekali saja, biarkan jaharu ini tentukan pilihan. Larutkan diri dalam kubang frustrasi pun biar kutanggung sendiri. Biarkan aku membuang darah agar bisa sampai ke tepi. Biarkan saja kulakukan segala kebodohan di tiap denting yang kumiliki.
Jika memang hasil tak berpihak, silakan saja bersorak. Kemungkinan besar, raga dan jiwa mala ini juga tak akan lagi bisa mendengar.
24 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?