Luka tak perlu dengan paksa kau genggam
Lara tak perlu dengan sabar kau radang
Kesemuan tak perlu kau kabulkan
Harapan tak perlu kau hancurkanKarena kini
Saat kilatmu terenggut
Saat dentummu tak lagi terpautKekelaman membawaku ke sana
Tanpa sesiapa pun sudi melongokkan kepalaPusaran ini terlalu pekat
Kubangan ini terlalu dalam
Napas ini terlalu menyiksa
Denyut ini terlalu memuakkanSemua mengadiliku
Semua memakiku
Semua meludahiku
Akan terpujanya dirimuKecerahanmu terlalu agung untuk menjernihkan pusaran ini
Kebajikanmu terlalu tinggi untuk menggapai kubangan ini
Takdir terlalu murka untuk merenggut napas ini
Dan bahkan Tuhan terlalu muak untuk mendengar dentum iniAku berteriak tanpa suara
Menangis tanpa isak nyata
Berdarah dengan luka telak
Dan meradang tanpa lara tampakKarena sungguh...
Ilalang ini terlalu lemah untuk menentang petir
Kilat ini terlalu rapuh untuk hancurkan langit
Pasir ini terlalu kecil untuk memaki ombakSemua hal telah kau bawa bersama pergimu
Bersama takdir bejat yang berlakuHilangnya damaimu merenggut semua kekuatanku
Tetapan sabarmu menghancurkan semua keagunganku
Musnahnya senyummu menghanguskan semua kepercayaankuLalu, apa yang kini dapat kuraup tanpa emosi?
Apa yang kini dapat kugenggam tanpa ingin?
Apa yang kini dapat kulihat tanpa sorot?Semua warna hilang bersama manik hijaumu
Semua cerah lenyap bersama detak jantungmu
Semua harap musnah bersama embus napasmuHanya lara yang kau sisakan
Hanya luka yang kau goreskan
Hanya tangis yang kau paksakanAku ingin mati
Aku ingin hidup
Aku ingin berhenti
Aku ingin memulai
Namun sungguh, aku tak mampuElang terlalu congak untuk mengabarkan kematianku
Pedih terlalu sesak untuk menjadi tanggungan hidupku
Sepi terlalu cekam untuk membantu aku berhenti
Maki terlalu hina untuk mengizinkan aku memulaiSemua menjadi terlalu tak pantas sejak saat itu
Sejak kau tetap menggenggam luka dariku
Sejak kau tetap sabar meradang lara dariku
Sejak kau kabulkan harapan semuku
Sejak kau hancurkan harapan nyatakuJadi, pantaskah aku hidup?
Pantaskah aku mati?Semua hal memaksa datang bersama embus badai kemusnahanmu
Sakit yang membuatku meregang nyawa tiap detik
Sesal yang membuatku tercekat napas tiap denting
Sepi yang membuatku terkungkung
Juga pahit yang membuatku terpasungJadi, mampukah aku menerima?
Mampukah aku menentang?Satu harapku
Jemput aku sebelum aku memaksa dengan semua ketidakadilan
Satu pintaku
Bawa aku sebelum aku terkapar dengan semua kesakitanNamun, pantaskah aku?
Sudikah dirimu?Aku ingin hadirmu
Untuk memakiku atas semua kebodohan yang dulu
Aku ingin cacimu
Untuk menghantamku atas semua keegoisan yang duluAku ingin suaramu
Untuk memberanikanku atas pengisap nyawa ini
Aku ingin senyummu
Untuk menerangkanku atas teka-teki iniApa pun, asal sepi tidak terus menggerogoti
Namun, akankah takdir mengizinkan?
Akankah Tuhan memperbolehkan?Aku terus berandai dan bertanya
Bisakah kau pinjamkan kekuatanmu?
Karena di sini, aku tak mampu bergerak
Bisakah kau lontarkan keinginanmu?
Karena di sini, aku tak mampu memutuskanSenyum ini sungguh mencemoohku
Napas ini sungguh mencekikku
Detak ini sungguh membakarkuAku tak mampu menanggung semua ini
Aku tak mampu menggenggam semua ini
Aku tak mampu mendera semua iniOh Tuhan, dapatkah aku segera menyusulmu tanpa mendera semua pedih ini?!
Dunia semuku tentangmu,
13 Maret 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?