Termangu, jerit itu menelan utuh bisu. Tak ada apa pun di sekelilingku. Hanya jalinan diam yang meringkuk dalam bayang. Namun sungguh, jerit itu tak berhenti terngiang-ngiang.
Masih jelas ada jerit duka di dalam sana. Bukan dariku pastinya, karena akalku telah hilang tak bersisa.
Aku terpaku. Aku membeku mendengar jerit tak ikhlas adikmu. Saat itu aku tak mampu memproses satu informasi pun selain satu. Adalah kamu yang akhirnya meninggalkanku dan semua gemintang yang kita hitung. Juga hilangnya embus damaimu yang benar-benar buatku mematung.
Jerit itu masih ada. Terekam jelas di dalam sana. Makin jelas terdengar tiap malam memasung dan kantuk masih enggan untuk menggulung. Namun, Juita, aku tak menginginkannya.
Tapi karena kini kamu hanya semu, tak apa, bukan, jika aku menghidupkanmu dalam bisu?
17 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?