Semestaku bertabur pekat. Jadi, tak usah bertanya apakah aku pernah dikelilingi monster memikat.
Banyak jejak berlumur gelak. Banyak juga tapak dengan sibar lara telak. Dindingnya sering hancur diterpa badai tak bergerak. Kacanya selalu pecah dihantam maki berpasak. Atapnya pun berulang kali lebur hanya dengan sekali depak.
Jadi, jangan tanya lagi. Sudah pasti bisa diketahui apakah aku masih pegari.
Yang mendekapku adalah hampa. Dengan rayu aku akan amerta--tak akan pernah jadi kunarpa. Padahal ... itu semua untuk apa? Miliaran hantaman hipernova? Atau menunggu alobar menyepaikanku saja?
Akalku tak mampu menggapainya.Tangan-tangan makhluk fana tak terlalu menarik perhatian. Dan sejauh ini, hanya hampa yang mampu hentikan goresan.
Cahayanya tampak berbeda. Jadi, aku menghamba. Entah akhirnya hanya untuk digantung di ujung binara atau terbebas dengan embus angin yang angkara, aku memutuskan tak apa.
Karena nyatanya, semestaku memang bertabur pekat. Perbedaan napas dan hilang pun terlalu kabur sepanjang ingat.
29 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?