Ada sendu yang meringkuk di pojokan. Semacam tak ingin menghilang dan hanya terus berdiam.
Dulu, kukira sang sendu ada karena hatimu yang memilih puan lain setelah semua hal yang kamu lewati sejak kita masih kecil. Dulu, kukira aku cemburu. Kukira aku dibutakan bisu setelah meninggalkanmu agar bisa bersama puan lain itu. Dulu, kukira aku kecewa. Kukira aku kecewa padamu yang merusak kepercayaan dengan hanya berdiam saat aku diinjak-injak oleh sang puan.
Namun kini saat perjuangan sia-siamu--untuk membuatku percaya kembali--tak kunjung berhenti, agaknya, aku harus mengucap terima kasih. Aku harus berterima kasih padamu karena telah menyadarkan rasa yang dulu bukanlah sayang--apalagi kasmaran. Nyatanya, aku tak merasa benar-benar kehilangan. Mungkin aku hanya terbiasa dengan hadirmu saat semesta menolak eksistensiku. Aku harus berterima kasih padamu karena telah menyadarkan rasa yang dulu bukanlah cemburu maupun kecewa pada sikapmu. Nyatanya, aku hanya kecewa pada diriku. Aku kecewa pernah menaruh kepercayaan padamu. Aku kecewa melakukannya dengan begitu naif dan melupakan fakta sifat manusia memang penuh kejutan sadis.
Kini, memang saatnya aku berterima kasih. Terima kasih telah membuatku makin mengokohkan pijakan tanpa buntuh songkongan. Semoga kamu selalu terlingkup dalam rahmat Tuhan. Semoga kamu segera berhenti mendapatkan percayaku dan membangun hubungan lebih. Pada orang yang tak bisa menjaga kepercayaan, cukup kuucapkan terima kasih.
3 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?