B

12 0 0
                                    

Faktanya, kita sama-sama bertingkah berlebihan tanpa mau saling merendah.

Aku bisa menyebutkan semuanya. Tapi, Puan, biarlah kusebut satu saja. Mungkin ini alasan yang paling kamu ingat. Karena nyatanya, ini baru terjadi kemarin malam. Yaitu tentang kamu yang mengatakan aku terlalu berlebihan dalam menanggapi, sedangkan kamu juga melakukan hal serupa malam tadi. Tentang kamu yang meninggalkan rumah hasil peluhmu sendiri hanya karena satu kebungkaman dari mulut terkunciku ini.

Faktanya, kita sama-sama tersakiti tanpa pernah saling menyadari.

Opiniku menikammu. Prinsip dalam pandang teratas hidupku mencengkeram dengan seribu sembilu. Tapi, Puan, apakah kesadaran pernah menyapamu walau hanya sambil lalu? Jujur, ucapmu juga banyak mencekikku.

Faktanya, kita sama-sama merasa paling benar tanpa mau saling paham.

Kita berangkat dari prinsip yang sangat jauh berbeda. Aku dengan semua ketololanku dan kamu dengan semua kesempurnaanmu. Saat dipertemukan dalam debat, kita sama-sama mengeluarkan pendapat. Kamu mengaku bahwa aku selalu menganggap opini pribadi sebagai hal yang punya kebenaran hakiki. Dan dalam diam, aku juga merasakan hal demikian. Sama sepertimu, aku juga merasa kamu terlalu memaksakan kehendak. Jadi, Puan, bisakah kita saling sadar bahwa kebenaran bagi masing-masing itu sangat berbeda? Karena prinsip tak sama dan istilah opini--hal paling benar menurut pribadi--sampai kapan pemaksaan kehendak ini terus terjadi?

Faktanya, kita sama-sama menuntut tanpa paham arti perputaran masa.

Tempaan semesta tak akan membuat orang menjadi pribadi yang sama. Tapi nyatanya, kita hanya menanggapi perubahan tanpa mau bertanya kenapa. Kita hanya menanggapi kesalahan tanpa mau terlebih dulu berkaca. Kamu berkata aku berubah, sedang sejak lebih dari setahun lalu pun aku merasa kamu juga serupa.

Faktanya, kita sama-sama membatin kekurangan tanpa mau mengutarakannya di depan--membiarkan solusi berani melongokkan kepala.

Aku menjadi "pengingat rutin" layaknya atasan karena terlalu perfeksionis dalam kedisiplinan. Aku hanya berdiskusi dengan orang yang ada saat itu juga karena kurasa, tenggat tak lagi bisa ditunda. Itu membuat Puan merasa tak berharga dan--jujur saja, tampak--waswas karena terancam. Lalu akhirnya, kamu memilih sementara meninggalkan. Tapi dengan tololnya aku juga merasa tak dihargai karena Puan dengan bebas terbang di angkasa, sementara aku diserang para predator dunia bawah. Jadi, bagaimana mungkin kamu yang mengharap kepekaan bisa dipahami orang setolol aku? Dan bagaimana mungkin dengan hanya membungkam, aku mampu memintamu turun barang sekejap untuk singkirkan satu saja gigi tajam?

Faktanya, kita memang sama. Jadi, walau akhirnya aku mengeluarkan setitik kesah dan kamu jawab dengan semua salah--dengan telak membungkam keberanian yang sekian lama susah payah kukumpulkan--solusi yang baru menyembul malu-malu pun langsung enggan menyapa. Ya, kita sama-sama ingin dipahami tanpa pernah benar-benar mau saling memahami.

Bedanya hanya satu. Adalah kamu yang sejak awal diam-diam mencurahkan isi hati dengan para malaikat, sedang aku bahkan tak berani mengungkap satu keluhan pada sang bayangan.

5 Agustus 2018

Untai Aksara Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang