Membuka pintu, kudapati sebuah buku. Ada tawamu saat berumur delapan. Maka tanpa ragu, kubawa ia ke dalam.
Lembar pertama ada kamu yang mengoceh riang sedang aku hanya menatap kosong pada ilalang. Lalu di bawahnya, tampak kamu menarik tanganku untuk dibonceng menggunakan sepeda, lalu berakhir terjatuh di lumpur dan aku langsung pulang.
Lembar kedua ada senyum lebarmu yang memamerkan hilangnya gigi satu. Sementara aku masih sama--hanya melamun--kamu tetap menarikku untuk berlari ke segala arah. Sungguh naif seolah dunia hanya milik kita. Namun tak bisa disalahkan, saat itu kita masih berumur sembilan.
Lembar ketiga ada kamu yang diam-diam mengambil penyelamatku--dari dalam tas--tiap pagi sembari menarikku berjalan bersama ke sekolah. Ada kamu yang tak pernah lupa mengganti benda-benda tajam itu dengan obat merah. Ada juga kamu yang selalu memeriksa apakah di tanganku ada sayatan baru.
Di lembar keempat, ada kamu yang memohon padaku agar tak lagi mencoba pergi dengan menyayat. Aku ingat saat itu kamu berkata, "Aku punya leukemia. Jangan mati dulu, ya. Temani aku berobat."
Lembar kelima, sebagai bentuk perdamaianku dengan perenggutan nyawa, kita jadi seperti sepasang anak kembar siam. Aku mulai ikut berlarian dengan sukarela. Dengan penuh hormat, saat itu aku menraktir es krim sebanyak-banyaknya kala si leukemia telah tiada. Dengan tanpa penyesalan, kita menghabiskan uang tabungan untuk membeli banyak cokelat. Dan untuk pertama kalinya, di lembar kelima, aku menemukan rumah.
Lembar keenam ada aku yang takut setengah mati karena berdarah banyak, lalu kamu dengan tenang memberi jaket dan menyuruhku mengikatnya di pinggang. Ada kamu yang kemudian memberiku benda asing--yang jika diingat sekarang membuat pipiku tak henti memerah--kemudian menjelaskan fungsinya dan aku tengah kenapa. Secara sains, tentunya. Ada juga kita yang tak lagi pernah hanya berduaan, berani dengan jelas memandang, apalagi hingga bersentuhan. Dan tentu saja, di lembar keenam, rumahku tampak makin indah.
Lembar ketujuh ada kamu yang terlalu mengabaikan, hingga ketahuan saat sudah stadium empat. Ada kamu yang binarnya tak lagi sama karena rencana perceraian orang tua. Ada kamu yang bilang tak mau berobat untuk kemudian tanpa ampun kumarahi dalam diam. Dan tentu saja, di sana ada aku yang memohon tiap denting untuk perpanjangan masa. Karena sungguh, aku belum mampu kehilangan rumah.
Namun akhirnya, di lembar kedelapan, setelah semua sendu yang terlewatkan ... kamu benar-benar meninggalkan. Tak bisa lagi kuraih dengan dimensi nyata. Padahal kukira, kamu adalah satu-satunya dunia tanpa hitam.
Jadi, tanpa minat, kututup buku itu lalu mengembalikannya ke luar. Karena ternyata setelah kepergianmu ... lembar-lembar selanjutnya hanya berupa kertas usang berjubal rindu.
***
Untukmu yang melalui delapan tahun bersamaku, lagi-lagi, aku rindu.
Bintaro, 7 Desember 2018
-Kertas Usang-
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?