Belajar Berjalan

22 2 0
                                    

Dalam kehidupan, aku selalu berpedoman pada satu keyakinan. Keyakinan bahwa tak ada yang benar-benar baik maupun benar-benar buruk. Bahkan ... kita bisa mengambil pelajaran paling berharga dari hal terburuk.

Contohnya adalah kasus pembunuhan. Well, kita semua pasti sepakat bahwa pembunuhan adalah kesalahan besar. Tapi kita juga tak bisa memungkiri bahwa dari sana, kita belajar tentang berharganya nyawa seorang manusia. Kita belajar bahwa nyawa adalah sebuah anugerah kodrati yang patut diperjuangkan.

Jadi, ya, lebih dari sekadar "melihat dari banyak sudut pandang", ini adalah "belajar menjadi manusia dari semua hal".

Dan menurutku, agar bisa "tumbuh" dari hal-hal minus yang menimpa, kita harus melakukan beberapa hal.

1. Berhenti mempermasalahkan "siapa yang bersalah" atau "siapa yang pantas".

Kembali ke konsep awal yang kubangun, tak ada yang benar-benar baik maupun benar-benar buruk. Contoh sederhananya, aku dulu pernah membaca novel dengan cerita yang sama tapi dari sudut pandang berbeda. Saat membaca cerita dari sudut pandang A, aku merasa amat kesal dengan B. Tapi saat membacanya dari sudut pandang B, aku merasa sangat kesal dengan A. Dan memang semua yang--menurut kita--bersalah ... akan selalu punya alasan untuk dapat dibenarkan.

Jadi, daripada memperdebatkan hal tak berujung, aku lebih suka memunculkan tanya, "Apa yang seharusnya kulakukan? Pelajaran apa yang bisa kudapatkan?"

Lalu alih-alih mempermasalahkan siapa yang pantas, aku lebih suka mempermasalahkan bagaimana caraku "berkembang". Karena begitu aku bilang, "Aku yang pantas menerimanya," pasti aku akan terlalu lama berkubang di sana. Padahal dengan berkata, "Ini memang cara yang Sang Kuasa beri supaya aku berkembang," aku bisa selalu mengambil pelajaran dan memperbaiki kehidupan. Bukannya terjebak dalam kesedihan dan rasa terbebani yang berkepanjangan.

2. Katakan atau tinggalkan.

Semua orang punya pandangan yang berbeda. Semua orang punya latar belakang yang berbeda. Semua orang punya pendirian yang berbeda. Semua orang punya prioritas yang berbeda.

Jika aku berekspektasi pada A untuk memahami kondisiku, misalnya, tentu akan jauh lebih mudah jika aku memberitahunya. Karena belum tentu konsep "benar" bagiku juga "benar" bagi A. Belum tentu konsep "menghargai" bagiku sama dengan milik A. Dan bagaimana aku bisa berekspektasi pada A untuk memahami jika kami berangkat dari konsep yang berbeda?

Tapi jika memang aku merasa membicarakan konsep tersebut tak bisa kulakukan karena banyak hal, bukankah lebih baik aku meninggalkan ekspektasi tersebut di tengah jalan? Toh itu adalah risiko dari keputusanku untuk tak mengatakan. Itu adalah risiko yang nyata-nyata harus kuterima dengan penuh tanggung jawab begitu meletakkan ekspektasi pada satu hal.

3. Lakukan semua hal dengan kepala dingin dan prasangka minim.

Jika melihat sesuatu dan langsung saja menyimpulkannya dengan pemikiran kita, itu tak salah. Hal wajar, menurutku malah. Karena kita memang berangkat dari latar belakang masing-masing. Dan ada di sanalah keberagaman yang bisa kita diskusikan bersama untuk menemukan titik tengah terbaik dari segala sisi.

Yang menurutku agak "mengganggu" adalah saat aku terlalu fanatik dengan satu sudut dan tak mau melihat sudut lainnya. Aku terlalu puas dengan kesimpulanku sendiri tanpa mau melihat kesimpulan yang lain.

Misalnya, aku membaca sebuah tulisan. Aku merasa tulisan itu dibuat untuk menyindirku. Lalu aku sakit hati. Aku merasa dikhianati. Aku merasa harus menjauhi pembuat tulisan ini. Aku merasa harus membalasnya. Aku merasa ... ini tak bisa dibiarkan begitu saja.

Padahal aku bisa melontarkan pertanyaan sederhana--pada pembuat tulisan--yang membuat perbedaan signifikan seperti, "Apa yang kupikirkan ini memang benar merupakan maksudmu membuat tulisan?"

Dan dari pertanyaan sederhanaku, mungkin aku bisa mendapat fakta bahwa maksud dia tak seperti itu, melainkan "begini-begitu". Mungkin kesimpulan yang kita ambil hanya berdasarkan perasaan abstrak, bukannya bukti nyata. Lalu mungkin dari sana, aku malah bisa belajar bahwa suatu kesimpulan harus diambil dengan kepala dingin. Mungkin aku malah bisa belajar hal baru tentang kehidupan dari penjelasannya barusan.

Ironisnya, semua itu tak akan bisa kudapatkan jika hanya memendam dan menutup mata dari segala pandangan.

4. Jangan membenarkan diri dengan menyalahkan orang lain.

Jujur, aku paling benci saat aku--misalnya--berkata, "Wajar aku tak semangat. Ini bukan keinginanku untuk melakukan. Wajar aku marah. Dia memang salah. Wajar aku kecewa. Aku sudah memberi segalanya tapi dia tak memberi apa-apa. Wajar aku tak lagi percaya. Dia sudah mengecewakanku berulang-ulang."

Karena walau memang dari sana aku bisa mendapat kekuatan lagi untuk bangkit, nyatanya aku juga menghancurkan beberapa sosok dalam pikiranku--memusnahkan mereka setelah kurebut kekuatannya hingga tak bersisa.

Faktanya, walaupun terpaksa, tetaplah aku yang melakukan. Faktanya, benar-salah itu bukan ilmu pasti seperti matematika. Faktanya, akulah yang memberi dengan sukarela. Faktanya, akulah yang memberi kepercayaan secara berulang-ulang tanpa satu pun paksaan. Faktanya, tak ada batas dan janji konkret di antara kami untuk tak melanggar. Dan faktanya ... semua itu adalah risiko yang harus kuambil sendiri begitu membuat keputusan.

Jadi, alih-alih memandang buruk orang lain atas segala yang berjalan tak sesuai kehendak, aku lebih suka belajar untuk mencintai dan melihat segala sisi positifnya.

Akan terasa jauh lebih damai saat aku berkata, "Melakukan ini adalah jalan terbaikku menurut Sang Kuasa. Pasti ada banyak pelajaran yang bisa kudapatkan. Konsep 'benar'-ku mungkin tak sama dengannya. Jadi, aku mau bertanya konsep 'benar'-nya agar aku tahu batasan saat berhadapan dengannya. Mungkin jika dilihat, aku lebih 'memberi'. Tapi ternyata dia 'memberi' secara diam-diam, dan itu bahkan lebih besar dari yang kuberikan. Ternyata aku memercayakan hal yang tak bisa dia lakukan untukku. Padahal dia hanya percaya padaku dalam hal yang bisa kulakukan untuknya."

5. Berbahagialah karena bahagia.

Seperti yang pernah kusampaikan, sejatinya bahagia itu tak perlu alasan. Dan dengan berbahagia, semua akan terasa jauh lebih ringan.

Jadi, yuk, berbahagia. Hidup bukanlah hal yang sia-sia.

Untai Aksara Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang