Pada sayat pertama, kulihat lara menganga. Darah tampakkan dirinya. Namun sungguh, aku masih mati rasa.
Sayat kedua tak kunjung beri perihnya. Tak ada pengalih perhatian. Dari makianmu yang terus menonjok di dalam sana, juga dari beberapa tulang serta darah yang hingga sedetik lalu masih kamu buat berpindah dari tempat seharusnya.
Sayat ketiga, kututup erat telinga. Sungguh, makianmu makin kencang berteriak di dalam sana. Dan aku benar-benar marah. Marah karena dunia terus mengikutimu ke segala arah.
Sayat keempat, aku tak lagi memberimu tempat. Kulitku memucat. Dan kamu tak akan punya lagi objek yang bisa dimaki, diinjak tanpa henti, disayat di sana-sini, serta masih banyak lagi.
Sayat kelima, kuucapkan selamat tinggal pada dunia. Kujeritkan padanya bahwa ini bukan karena kamu. Ini adalah penyelamatan diriku. Karena sungguh, mati di tangan sendiri jauh lebih baik daripada mati perlahan di tangan orang lain.
8 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?