Sebenarnya, siapa yang berlebihan?
Sungguh, tanya itu masih terngiang-ngiang. Aku menghilang. Saat ada waktu luang, aku kembali menyapa ruang. Namun kutemukan satu kekurangan--satu pengulangan yang seharusnya tak dilakukan--hingga akhirnya terucap dalam tulisan. Apakah itu begitu menyinggung sang hati? Bukankah teguran itu wajar sekali? Singgungan? Sadarlah, Puan. Tiap bersua, kamu selalu melakukannya pula. Jadi, yang berlebihan itu siapa?
Sebenarnya, apa yang sama-sama kita sembunyikan?
Rasa tak sukamu? Jelas, itu hanya kamu sembunyikan dariku, bukan orang lain mana pun. Rasa tak sukaku? Jelas, aku terus memendamnya hingga saat itu datang dan membuatku harus melakukan penjelasan secara amat sangat terbuka.
Sebenarnya, siapa yang tak pantas?
Kamu bilang tak pantas untukku. Tapi tahukah dirimu? Semesta dan Puan selalu membuatku merasa kerdil dahulu. Dan saat kini telah kutemukan percaya diri, kamu ingin aku kembali lagi? Saat aku telah mampu ke angkasa sama dengan yang lain, Puan ingin aku rela diinjak-injak kembali?
Sebenarnya, siapa yang sakit hati?
Kamu sakit hati lalu mengadu ke orang lain? Apakah dengan begitu sakitmu terobati? Ataukah hanya dengan melihatku kembali merendahkan diri setolol-tololnya lagi, barulah kamu bisa berpuas diri?
Sebenarnya, siapa kita?
Semesta temukan kita dalam satu keadaan. Aku hanya mengikuti alurnya. Saat alur tersebut baik, aku akan bahagia. Dan saat alurnya tak sesuai ekspektasi, haruskah aku mematahkan diri? Semua hal berubah. Itulah sebabnya hati tak boleh terlalu berharap pada satu hamba. Untungnya, sedari awal aku menerapkan hal serupa. Jadi, apakah kamu juga bisa? Karena alur semesta tak akan berhenti hanya pada peristiwa ini, Puan.
Sebenarnya, siapa yang harus meninggalkan?
Yang jelas, itu bukan kamu. Ya, memang aku. Bukan karena mengalah ataupun merasa tak pantas. Tapi jika rumah hanya menghambat masa depan yang mulai terbentang, bukankah aku memang harus merantau dahulu, Puan? Apalagi sang rumah bukan lagi sebuah "rumah". Hanya ada konflik tanpa resolusi di sana. Karena di depan, semua memilih bungkam. Dan saat tak ada orangnya, barulah terlontar sindiran-sindiran.
Aku pergi. Bukan karena aku merasa rendah diri. Biarlah kamu katakan aku jemawa, aku sungguh tak peduli. Aku hanya tak mau dikelilingi alur serumit sinetron kembali. Kenyataan perlu dihadapi. Dan aku sadar, tempat itu bukan kenyataanku lagi.
27 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoetryKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?