Janji semesta terikrar dalam semburat jingga. Dia bersumpah untuk memberikan penyelamatan jiwa. Bersumpah bahwa kamu--yang menggenggam jiwaku--tak akan lagi didera teratu.
Semesta membuktikannya. Meski tanah berteriak kamu tak akan mampu, ia berbisik padaku, "Datanglah pada sang surya, dia bisa menyelamatkan jiwamu."
Ia melahirkan harap itu. Memupuknya dengan lumatan penuh haru. Membuatnya membesar dan meledak seiring berjalannya waktu. Karena begitu menghamba pertolongan surya, bukan hanya jiwaku yang menghilang. Ragaku pun musnah tanpa sisa karena dicumbu bara.
Jadi, dalam napas yang hanya tinggal sekali, aku memaki. Memaki semesta yang hanya bermain-main dengan ucapannya. Memaki segalanya yang hanya bercanda. Seolah mautku adalah hal yang begitu didamba.
Hanya ... memaki semua hal. Karena mereka hanya bercanda. Tinggalkanku meringkuk dalam sakitnya sapaan maut. Tinggalkanmu yang meringis pedih karena dicengkeram pedang kematian.
Juga tinggalkan kita yang hingga mati pun hanya bisa menghamba pada kesakitan.
18 Juli 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Untai Aksara Tentang Kita
PoesiaKamu, aku, dan dunia ini, kita datang lalu pergi, iringi masa bersama sunyi, dalam juita yang pegari dan tak lagi. Akankah sang asa abadi, dapat jadi lebih dari, sekadar khayali?