6. Si Penjual Teh

3.9K 56 2
                                    

WAKTU itu adalah Shagwee (Bulan ketiga), waktu ketika seluruh gunung ditutup dengan warna hijau yang sangat indah.

Tujuh tahun lamanya si nona hidup menyembunyikan diri di atas gunung dan belum pernah ia melihat pemandangan alam yang sedemikian permai.

Dengan rasa kagum, ia memandang keadaan di seputarnya dan hatinya yang gundah agak menjadi lega.

la melihat puncak2 yang menjulang ke langit, sungai yang airnya bening bagaikan kaca dan sawah yang ber-tingkat2.

Dari sana-sini terdengar suara nyanyian nona2 pemetik daun teh.

Di sawah2 yang sedang dikerjakan, bocah2 nakal pada bermain lumpur, di antara petani yang tengah mencangkul atau meluku dengan kerbaunya.

Pemandangan itu sungguh memperlihatkan suasana yang tenang-tenteram.

Sesudah berjalan beberapa lama, Wan Jie bertemu dengan sebuah warung teh.

Karena haus, ia berhenti dan minta semangkok teh.

Si penjual teh adalah seorang tua yang sudah berambut putih, tapi masih sangat bersemangat.

"Nona datang dari kampung apa ?" tanyanya seraya tersenyum.

"Dari Kay-goan," jawabnya. "Aku ingin pergi ke-Pa-ciu untuk menengok saudara."

"Tak heran aku tidak mengenal nona, tak tahunya dari lain tempat," kata si kakek. "Dalam dua tahun ini memang sangat aman. Dulu, tak nanti ada seorang wanita yang berani keluar rumah seorang diri."

Hati si-nona tergerak. la turut bersenyum dan berkata : "Jika aku tidak salah menafsirkan perkataan Lo-tiang, keadaan sekarang sudah banyak lebih baik dari pada dulu."

"Terlalu baik juga tidak," kata orang tua itu. "Tapi untuk menangsal perut dengan nasi dingin atau menghilangkan dahaga dengan air teh kasar, orang boleh tak usah kuatir lagi. Hm.....! Aku sudah tua, asal bisa makan sehari dua kali, aku sudah merasa puas. Keadaan sekarang memang lebih baik dari pada yang dulu."

Si nona tertawa. "Dengan mengatakan begitu, bukankah Lo-tiang maksudkan, bahwa kaizar wanita yang sekarang lebih baik dari pada kaizar pria?" tanyanya.

Si-kakek turut tertawa. "Bukankah memang benar begitu ?" katanya. "Di kampung kami ada sejumlah sasterawan yang mencaci-maki kaizar sekarang. Tapi para petani siang malam berdoa supaya Tuhan memperpanjang usia kaizar."

"Mengapa begitu ?" tanya Wan Jie.

"Kami, rakyat jelata, tak menghiraukan siapa yang menjadi kaizar, lelaki boleh, perempuan pun tak menjadi soal," menerangkan si-tua. "Apa yang diharapkan rakyat adalah penghidupan yang lebih baik. Kalau bisa makan lebih kenyang dan bisa berpakaian lebih baik, rakyat sudah merasa puas."

Wan Jie mengangguk sebagai tanda setuju terhadap pendapat kakek itu.

"Dulu, untuk seratus kati gabah, orang harus membayar cukai sebanyak tiga gantang," ia melanjutkan penuturannya. "Tapi sekarang, hanya segantang setengah, yang mana berarti kurang separuh. Tapi yang paling menggembirakan adalah dijalankannya peraturan yang melarang si kaya berbuat se-wenang2.  Saat ini, rakyat yang paling miskin masih bisa mendapat pembagian sawah, sehingga seorang yang berani bekerja, sudah pasti tak akan kelaparan. Waktu Tong-thay-cong baru naik takhta, telah diadakan peraturan pembagian sawah. Sebab pada jaman itu tanah sangat luas dan jumlah manusia masih agak sedikit, maka setiap orang lelaki yang berusia di atas delapan belas tahun, bisa mendapat seratus bauw sawah. Delapan puluh bauw merupakan 'milik sementara', sedang yang dua puluh bauw 'milik tetap'. Sesudah si pemilik meninggal dunia, dua puluh bauw 'milik tetap' turun kepada anak cucunya, sedang yang delapan puluh diambil pulang oleh negara untuk dibagikan kepada yang lain. Tapi sesudah lewat sekian tahun, peraturan itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan akhirnya jadi menyeleweng. Belakangan, sebab sawah2 boleh dijual belikan secara bebas, maka sawah2 'milik tetap' dari para petani miskin banyak sekali yang dibeli secara paksa oleh kaum beruang dan berkuasa. Begitu lekas memegang tampuk pimpinan negara, Bu Cek Thian segera bertindak dan melarang jual-beli sawah. Di samping peraturan lama, ia menambahkan peraturan baru, yaitu setiap janda bisa mendapat tiga puluh bauw sawah 'milik tetap'. Maka itulah, dalam seluruh masa kerajaan Tong, jaman Bu Cek Thian adalah jaman paling makmur bagi kaum petani." dengan bersemangat si kakek menjelaskan panjang lebar. 

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang