33. Dua Bersaudara

2K 32 1
                                    

PADA hari keempat, Lie It sudah bisa duduk.

Karena sudah lama tidak melihat sinar matahari, ia menyingkap tirai kereta dan melongok keluar untuk melihat pemandangan alam yang sangat indah.

Sekonyong-konyong, dari sebelah kejauhan kelihatan mendatangi dua penunggang kuda, dua orang muda, yang satu lelaki dan yang lain perempuan.

Yang lelaki, yang tiba lebih dulu, segera mencegat di depan kereta seraya membentak: "Berhenti! Siapa di dalam kereta!?"

"Tuan dari kantor mana?" tanya Ma Goan Thong. "Apa kau mempunyai surat perintah untuk mencegat atau menangkap orang?"

"Fuhh! Apa matamu buta!" bentaknya. "Aku adalah rakyat Kerajaan Tong, bukan budak kaizar."

"Aha.........! Dua penolong calon kaizar sudah tiba," kata Hian Song kepada Lie It sambil tersenyum manis.

Lie It mengawasi kedua orang itu, tapi ia tak kenal siapa adanya mereka.

"Kalau kau rakyat biasa, mengapa kau mencegat kami?" tanya Ma Goan thong.

"Orang yang berada dalam keretamu bukan rakyat biasa," kata pemuda itu.

"Bukan urusanmu!" kata Ma Goan Thong dengan suara ketus. "Aku tidak melanggar undang-undang negara. Tak dapat kau mencampuri urusanku." Sambil berkata begitu, ia mencambuk keledainya.

"Aku justru mau mencampuri!" bentak si-pemuda.

Ia melompat turun dari tunggangannya dan dengan sekali menekan, kedua keledai yang menarik kereta lantas saja berlutut.

Beng Cu tertawa nyaring.

"Tenaganya hebat juga," katanya. "Ma Toasiok, usirlah dia!"

Ma Goan Thong tertawa dingin. "Apa kau mau merampok di tengah hari bolong?" bentaknya seraya menyabet dengan cambuknya.

Pemuda itu ternyata bukan sembarang orang. Sambil berkelit, tangan kanannya sudah mencabut sebatang pedang, sedang tangan kirinya menyambar pergelangan tangan Ma Goan Thong yang memegang cambuk.

Ma Goan Thong jadi gusar, ia mengerahkan Lweekang dan mendorong keras, sehingga pemuda itu mundur beberapa tindak.

Hampir berbareng, ia melompat turun dari kereta seraya berteriak: "Bagus! Mari kita main-main beberapa jurus!"

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu segera menyerang dengan pukulan In-mo-sam-bu (Payung-awan-tiga-kali-menari) yang terdiri dari tiga gerakan menikam lutut.

Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Ma Goan Thong mengerahkan Lweekang sehingga cambuknya yang panjangnya setombak lebih, berubah lurus bagaikan toya dan dongan gerakan Poan-liong-jiauw-po (Naga-bertindak), ia memutar senjata itu bagaikan titiran untuk menangkis tikaman2 lawan.

Pemuda itu buru-buru menarik pulang pedangnya dan sambil menggeser kaki, ia coba membabat jari-jari tangan Ma Goan Thong yang mencekal cambuk.

Ma Goan Thong kaget, karena ia tak menduga lawannya dapat bergerak dan mengubah gerakannya sedemikian cepatnya.

Dengan sekali menotol tanah dengan kakinya, ia melompat ke belakang dan kemudian dengan pukulan Hui-hong-sauw-liu (Angin-puyuh-menyapu-pohon-liu) ia balas menyerang.

Karena senjatanya panjang dan senjata lawan lebih pendek, ia bisa menarik keuntungan dalam hal persenjataan, tapi pemuda itu yang ternyata bernyali sangat besar, sebaliknya daripada mundur malah melompat maju dan selagi cambuk lewat di belakangnya, ia membarengi dengan satu tikaman dahsyat. Tapi Ma Goan Thongpun bukan anak kemarin dulu.

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang