DI DALAM ada sinar terang dari sebuah lubang angin. Sinar itu membuat Hian Song dapat melihat semuanya dengan jelas. Nona Bu Hian Song menjadi takjub dan kagum.
Ia melihat sebuah meja batu yang di atasnya duduk bersila seorang niekouw atau pendeta wanita, di sekitarnya terdapat banyak batu marmer hingga dia mirip patung dewi atau malaikat.
Yang mengherankan adalah dia bukan mirip patung tanah liat atau kayu, dia seperti orang hidup!
Untuk sejenak Hian Song berdiri tercengang, akhirnya ia menekuk kedua kakinya, menjatuhkan diri di depan bhiksuni itu, untuk memberi hormat sambil ia berkata separuh berseru : "Suhu...! Kiranya suhu di sini...! Suhu, inilah muridmu, Hian Song, datang!"
Niekouw itu berdiam saja.
"Suhu...!" kata sang murid heran. "Suhu, mengapa kau berdiam saja?"
Guru itu terus berdiam.
Orang dengan pakaian putih itu, yang berdiri di samping si nona, berkata dengan perlahan: "Gurumu telah meninggal dunia semenjak tiga tahun yang lampau, aku menantikan sampai sekarang baru aku mendapatkan kau datang"
"Apa...?" berseru Hian Song, heran dan kaget.
Ia tidak percaya mata atau pendengarannya, ia melompat bangun.
Ia lantas menggeser sekosol, untuk mendekati gurunya itu.
Ketika ia mencoba menyentuh gurunya ternyata tubuh sang guru dingin seperti es, tubuh guru itu keras dan kaku, bagaikan batu.
Ia kaget hingga ia menjatuhkan diri pula, ia berdiam sekian lama tanpa bisa menangis.
Baru kemudian terdengar tangis isaknya.
Pria dengan pakaian putih itu membiarkan sang murid menangis hingga sekian lama.
"Suhu menutup mata tanpa sakit lagi," katanya perlahan. "Aku cuma menantikan tibamu, lantas kita dapat memenuhi keinginannya, yaitu kita harus mengantar pulang tubuh-raganya. Su-moay, tidak usah kau terlalu berduka."
Hian Song berlompat bangun, matanya menatap wajah orang tersebut.
"Hian Song, kau telah tidak mengenali aku," kata pria itu. "Ketika kau berumur sepuluh tahun, aku telah melihatmu. Semenjak itu, hingga sekarang sudah lewat enam belas tahun, tidak heran kau tidak ingat aku lagi. Begitupun aku, jikalau tadi aku tidak menguji dulu ilmu pedangmu, aku kemungkinan juga tak akan mengenalmu."
Hian Song menepas air matanya, ia mengawasi pula.
"Ah, kau jadinya Pwee Toako!" katanya.
"Benar, akulah Pwee Siok Touw," menyahut pria itu. "Sampai suhu hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, aku tetap mendampinginya."
Siok Touw ini keponakan gurunya Hian Song, karena ia memperoleh ilmu silatnya dari bibinya itu, ia pun memanggil guru pada sang bibi.
Selagi Hian Song masih belajar pada gurunya, Siok Touw sudah keluar dari perguruan, untuk pergi merantau, maka juga kedua saudara seperguruan ini cuma pernah bertemu satu kali.
"Kenapa suhu berada di sini?" kemudian Hian Song bertanya dengan rasa heran.
"Suhu meninggalkan sekumpulan syair," kata Siok Touw, "ia berpesan untuk kau membawa pulang buat dihaturkan kepada Thian-houw. Suhu bilang Thian-houw paling mengenal hatinya. Buku syair itu kau boleh baca lebih dulu, habis membaca, lantas kau akan mendapat tahu kenapa suhu datang kemari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie Shen
Fiksi UmumAwal kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu karya terbaik Liang Ie Shen. Sangat direkomendasikan untuk dibaca (must read), bahkan dari beberapa pengamat memberikan bintang 5 untuk trilogi ini (Trilogi Pendekar Rajawali karya Jin Y...