27. Curahan Hati Sang Kaizar

1.7K 38 2
                                    

DI LAIN saat, kaizar wanita itu mengangkat sebuah cermin dan melihat wajahnya sendiri.

"Ha.....! aku sudah tua," katanya dengan perlahan sambil mengusap-ngusap rambutnya yang sudah putih separuh.

Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula : "Tek-keng, bagaimana pendapatmu dengan keputusanku yang tadi......?"

"Hamba merasa sangat takjub akan pandangan Piehee yang sangat luas," jawabnya. "Tapi, untuk bicara terus terang kelonggaran yang tadi diberikan sungguh-sungguh di luar dugaan hamba."

"Kau salah, saya bukan seorang yang selalu longgar," kata sang Junjungan. "Saya hanya berusaha untuk berlaku seadil-adilnya, tanpa mengingat soal pribadi. Jika yang dihadapi kami adalah soal keselamatan negara dan rakyat, saya dapat berlaku terlebih keras daripada kau. Saya adalah seorang yang satu tangan mencekal cermin dan lain tangan memegang cambuk."

Tek Jin Kiat manggut-manggutkan kepalanya.

"Memang, dalam mengurus negara, seseorang harus memegang cermin dan cambuk dengan berbareng," katanya.

Bu Cek Thian menghela napas panjang.

"Hanya sayang, saya sudah terlalu tua dan orang jahat berjumlah terlalu besar, sehingga aku kuatir aku tak akan dapat melayani mereka," katanya dengan suara berduka.

"Piehee terlalu capai karena bekerja terlalu keras," kata Tek Jin Kiat. "Hamba mengharap Piehee suka menyayang diri sendiri."

"Ya, itulah sebabnya mengapa saya ingin mendapat bantuanmu," kata sang Junjungan. "Sekarang saya ingin menyerahkan satu cambuk kepada Tek-keng."

Sehabis berkata begitu, ia segera memerintahkan dayangnya mengambil cambuk itu. Cambuk itu yang panjang bentuknya, mengeluarkan sinar emas yang berkilauan.

Sambil berdiri dan mengangkatnya dengan kedua tangan, ia menyerahkannya kepada Tek Jin Kiat.

"Apakah maksud Piehee dengan menyerahkan cambuk ini ?" tanya menteri itu.

"Cambuk emas ini adalah pemberian dari Thaycong Hongtee," menerangkan Bu Cek Thian. "Siapapun jua yang berhadapan dengan cambuk ini seperti berhadapan dengan saya sendiri. Jika ada orang melanggar undang-undang negara, tak perduli dia itu menteri besar atau keluarga-kaizar, Tek-keng boleh menghukumnya dengan menggunakan senjata ini."

Sesudah mendengar penjelasan itu, barulah Tek Jin Kiat berani menerima hadiah itu sambil berlutut.

"Biarpun badan hancur dan tulang berserakan, tak dapat hamba membalas budi Piehee yang sangat besar," katanya dengan suara terharu dan berterima kasih.

Kentongan berbunyi beberapa kali, sebagai tanda bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam.

"Apakah Piehee masih ingin memberi pesanan apa-apa kepada hamba ?" tanya Tek Jin Kiat.

"Masih ada suatu hal penting yang aku ingin sampaikan kepada Tek-keng," kata sang Junjungan. "Tek-keng, malam ini aku merasa sangat berduka............."

Tek Jin Kiat menghela napas, ia merasa kasihan akan kaizar wanita itu.

Sesudah menghela napas, ia berkata dengan suara perlahan : "Itulah hamba sangat mengerti. Baik juga Piehee sekarang sudah tahu siapa yang berdiri di belakang layar"

"Kedukaan saya bukan hanya karena kematian Thaycu," memutus Bu Cek Thian. "Aku berduka sebab sepak-terjang Lie It. Saya sungguh tak nyana, dia bersekutu dengan Cie Keng dan menentangku."

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang