61. Malaikat Beracun

1.7K 23 0
                                    

IA terus mengikuti jejak orang. Ia memanjat makin tinggi, sampai di sebuah puncak.

Di sini ia melihat sebuah rumah diantara banyak pepohonan bagaikan rimba.

Ia terkejut, hatinya bimbang. Ia berdiri diam, ia berpikir keras.

Di akhirnya ia dapat membesarkan hati, maka ia menghampiri rumah itu, ia pergi ke pintu dan mengetuknya. Sekian lama, ia tidak memperoleh jawaban.

Ia menjadi heran.

"Kecuali mereka, siapa lagi yang tinggal disini?" pikirnya.

Ia maksudkan Lie It dan Tiangsun Pek.

"Mungkinkah mereka tidak sudi menemui aku?"

Karena memikir demikian, ia lantas memanggil-manggil.

Pertama ia menyebut nama Tiangsun Pek, lalu nama Lie It.

Tetap ia tidak memperoleh penyahutan. Ia heran dan menjadi bercuriga.

Maka akhir-akhirnya, ia mengertak gigi, ia mendorong daun pintu!

Hawa dingin menyamber keluar ketika pintu sudah terpentang.

Rumah itu kosong. Di situ tidak ada Lie It, juga tidak ada Tiangsun Pek.

"Ah......." kata si nona didalam hatinya, ia sangat berduka dan kecele, "apakah benar-benar kau tidak mempunyai lagi sedikit juga rasa persahabatan? Dari jauh-jauh aku datang kemari, kenapa kau tidak mau menemui aku bahkan kau pergi bersembunyi?"

Begitu ia berpikir begitu, begitu ia berpikir pula: "Mungkinkah Tiangsun Pek yang tidak mengijinkan dia menemui aku? Tiangsun Pek, kau sungguh sempit pikiranmu! Kau kira aku orang yang kesudian merebut suami?"

Sembari berkata-kata begitu di dalam hatinya, Hian Song melihat kelilingan.

Sinar matanya lantas bentrok sama dua baris syair di tembok.

Ia lantas membaca :

"Sepuluh tahun diimpikan, dipikirkan...

Bagaikan pasir meniup angin Barat.

Seperti sepasang burung sama nasib ................

Di dalam dunia ini, di mana rumahku?

Suka aku menyiram darahku di tanah asing,

Ingin aku menitipkan pesan untuk kawan lama.

Mengingat penasaran Tuan Lie atas negaranya,

Biarlah dia mengicipi keindahan gunung salju............"

Syair itu baru saja ditulis. Itulah syairnya Tiangsun Pek.

Hian Song berdiam, hatinya bekerja. Dengan itu Tiangsun Pek melukis nasibnya sendiri yang telah menikah dengan Lie It selama sepuluh tahun, karena berduka maka ia meninggalkan rumahnya, seperti angin Barat "merantau" di gurun pasir.

"Inilah nasibnya Tiangsun Pek. Bukankah ini juga nasibku? Bukankah ini ditulis untukku? Aku menyeberangi laut pasir, aku mendaki gunung Thian San. Bukankah aku pun seperti bermimpi sepuluh tahun? Teranglah, untuk anaknya, Tiangsun Pek meninggalkan rumahnya. Untuk itu, ia tidak takut mati. Ia pun menganggapnya akulah kawan lama Lie It. Maka itu, untukku, ia juga bersedia meninggalkan rumahnya ini. Nyata dia bersedia menyerahkan Lie It padaku dan aku diperingati akan penasarannya Lie It dalam urusan negaranya."

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang