34. Beradu Syair

1.6K 31 1
                                    

LIE IT bangun perlahan-lahan dan lalu duduk bersandar di belakang kereta.

Dengan perasaan yang sukar dilukiskan, ia mengawasi kedua saudara Tiangsun itu yang semakin lama jadi semakin jauh.

Di lain saat, ia ingat Tiangsun Kun Liang, seorang menteri tua yang sangat setia kepada kakeknya, dan dari Tiangsun Kun Liang, ia ingat pula Siangkoan Wan Jie. Ia menghela napas panjang dan perasaannya sangat tertindih.

Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Hian Song segera menyanyikan sebuah sajak kuno - Sajak Siangkun - dengan perlahan :

"Mengapa tuan termenung, diliputi kedukaan?

Ada hal apa yang dibuat pikiran?

Apakah sedang memikirkan seorang gadis rupawan?

Jika benar, buatlah perahu untuk mengadakan pertemuan."

Mendengar nyanyian majikannya, si-budak cilik tertawa dan berkata : "Ma Toasiok, hayolah kita berangkat."

Lie It agak terkejut. Ia merasa kagum akan kepintaran kedua gadis itu, yang seolah-olah sudah dapat menebak jalan pikirannya.

Kereta lantas saja dijalankan perlahan-lahan. Lie It terus duduk termenung dan makin lama pikirannya jadi makin kusut.

Rupa-rupa pikiran keluar-masuk dalam otaknya, "Mana khimku?" tanyanya akhirnya.

"Jangan kuatir, khim dan pedang semua berada di sini," jawab Hian Song yang lalu menyerahkan tabuh-tabuhan itu kepadanya.

Sesudah mengakurkan tali-talinya, Lie It segera memetik tabuh-tabuhan itu sambil menyanyi:

"Setelah bertanya rembulan, lalu bertanya sang matahari,

Mereka sebenarnya bersinar, tapi mengapa diliputi kegelapan?

Hati yang duka tak dapat dicuci bersih,

Bagaikan pakaian kotor yang bertumpukan.

Kurenungkan nasib sambil menekap dada,

Bagaimana kubisa mementang sayap terbang ke angkasa."

Nyanyian diatas adalah petikan dari Sie-keng yang mengutarakan keluhan seorang gagah yang berangan-angan tinggi, tapi tidak dapat bergerak karena ditindih oleh kawanan manusia rendah.

Nyanyian itu merupakan jawaban terhadap pertanyaan Hian Song dan ia mengumpamakan dirinya "sebagai seorang gagah yang tidak bisa terbang ke angkasa."

"Apa hanya itu yang dipikirkan olehmu?" tanya nona Bu sambil tersenyum. "Kong-cu, aku rasa masih ada lain hal yang belum diutarakan olehmu. Ayolah, aku ingin dengar pula nyanyianmu."

Memang benar, pada saat itu, tanpa merasa, jari-jari tangannya kembali memetik khim dan mulutnya menyanyikan lagu yang seperti berikut :

"Kun kuning, baju hijau,

Hatiku menderita, tak dapat melupakannya,

Sutera nan hijau,

Kaulah yang mengerjakannya.

Kuingat mendiang kawanku,

Ingin memperbaiki banyak kesalahan."

Syair itu adalah gubahan seorang penyair di jaman dulu, yang karena melihat pakaian isterinya, jadi ingat kepada isteri itu yang sudah tidak ada lagi di dalam dunia.

Dengan mengetahui, bahwa Siangkoan Wan Jie bermaksud untuk membunuh Bu Cek Thian, sehingga dengan demikian nona itu menghadapi bahaya yang sangat besar, maka Lie It sangat kuatir kalau-kalau ia tidak bisa bertemu muka lagi dengannya. Karena adanya kekuatiran dan kedukaan itu, maka suara khim dan nyanyian Lie It sangat menyayat hati.

Sesudah pemuda itu berhenti menyanyi, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Hian Song lalu mengambil khim itu yang lalu dipetiknya sambil menyanyi :

"Harum dan busuk bercampuran,

Harum yang asli selalu menonjol ke depan,

Wanginya dapat diendus dari kejauhan,

Sesudah memenuhi ruangan didalam, merembas sampai di luar.

Barang baik selalu dapat mempertahankan diri,

Suara merdu dapat didengar jauh sekali."

Dengan syair Su-bie-jin (Ingat Wanita Cantik) itu, Hian Song ingin mengatakan bahwa seperti harum dan busuk yang bercampuran, manusia utama dan manusia rendah sama-sama bekerja dalam suatu kerajaan.

Tapi walaupun bercampuran, manusia utama, seperti harum yang asli selalu bisa menonjol ke depan.

Selanjutnya, ia memperumpamakan Wan Jie sebagai "barang baik yang selalu dapat mempertahankan diri".

Ia ingin menujukkan, bahwa Bu Cek Thian tentu bisa melihat "barang baik" itu, sehingga Wan Jie pasti tidak akan diganggu selembar rambutnya.

Mendengar nyanyian itu, Lie It kaget bercampur kagum.

Biar bagaimanapun jua, ia sekarang harus mengakui kepintarannya nona itu.

Ia menengadahkan kepalanya dan sorot matanya beradu pandang dengan sorot mata Hian Song, sehingga cepat-cepat ia menunduk kembali dengan paras muka kemalu-maluan.

Sesaat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan: "Mengapa kau menolong aku?"

Hian Song tertawa.

"Aku menolong seorang pandai untuk kepentingan negara," jawabnya. "Juga supaya kau mempunyai, kesempatan untuk mementang sayap dan terbang ke angkasa."

"Hal itu baru bisa terjadi jika langit berubah," kata Lie It dengan suara tawar.

Dengan berkata begitu, terang-terangan ia mengaku, bahwa sebelum Bu Cek Thian diruntuhkan, ia tak akan bisa bergerak.

Hian Song mengawasi dan berkata: "Hanya sayang kawanmu tidak berada disini. Hmm............. Aku ingat seorang kawan, ingin memperbaiki banyak kesalahan. "

Dengan mengutip syair yang barusan dinyanyikan Lie It, si-nona ingin mengatakan, bahwa jika Wan Jie berada di situ, ia tentu bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pemuda itu.

Lie it mendongkol.

"Belum tentu Wan Jie berbuat seperti apa yang diduga olehmu," pikirnya. "Tak mungkin ia melupakan sakit hati kakek dan ayahandanya. Andaikata benar ia berubah pikiran, aku sendiri sudah pasti tak akan membungkuk di hadapan Bu Cek Thian."

Melihat perubahan paras muka pemuda itu, Hian Song bertanya: "Apakah aku menyinggung perasaanmu?"

"Terima kasih atas petunjukmu," jawabnya dengan dingin. "Tapi aku bukan seorang kanak-kanak. Aku percaya, bahwa aku masih dapat membedakan apa yang harum dan apa yang busuk."

Hian Song menghela napas. "Kuharap memang benar begitu," katanya.

******

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang