7. Pemuda Aneh

7.1K 72 1
                                    

DEMIKIANLAH, di atas jalanan gunung yang menghubungkan Kiam-kok dan Pa-ciu, di antara pemandangan alam yang sangat indah, nona Siangkoan jalankan keledainya per-lahan2 dengan kepala menunduk dan acapkali menghela napas. Ia membeli tunggangan itu di sebuah kota kecil dan selama tiga hari, perkataan2 si penjual teh selalu mengganggu pikirannya.

Suatu kenyataan yang tak dapat dibantah lagi ialah, Bu Cek Thian yang dianggap sebagai iblis jahat oleh Tiangsun Pehpeh dan rekan2nya, dipandang sebagai seorang kaizar arif bijaksana oleh rakyat jelata.

Hari itu, ia berjalan di sepanjang tepi sungai Kee-leng dan di pinggir jalan terdapat hutan yang mempunyai pemandangan indah.

Selagi enak jalan, tiba2 ia mendengar suara, kaki kuda di belakangnya dan tak lama kemudian, dua penunggang kuda sudah menyusul dan melawatinya.

Wan Jie melirik dan ternyata, mereka adalah dua orang lelaki yang romannya kasar dan berjenggot tebal.

Ia tidak menghiraukannya dan terus jalankan keledai per-lahan2.

Belum jalan berapa jauh, tiba2 kedua penunggang kuda itu kembali dari sebelah depan.

Jantung si nona memukul keras dan ia ingat keterangan Tiangsun Kun Liang mengenai caranya kalangan Kang-ouw.

"Apakah mereka Cay-phoa-cu dari kalangan Liok-lim ?" tanyanya didalam hati.

Menurut kebiasaan Liok-lim, atau Rimba Hijau, yang berarti kalangan penjahat, setiap kali kawanan perampok ingin "bekerja", lebih dulu mereka mengirim mata2 untuk menyelidiki. Dalam dunia Kang-ouw, mata2 itu dikenal sebagai Cay-pho2-cu, atau si Tukang injak piring.

Sekali ini, Wan Jie lebih memperhatikan kedua orang itu.

Selagi berpapasan, se-konyong2 mereka mendongakan kepala dan terawa terbahak2.

Si nona mendongkol dan sebenarnya ia mau lantas menegur.

Tapi karena ingat lebih baik jangan cari masalah, se-bisa2 ia menahan sabar.

Di lain saat, kedua penunggang kuda itu sudah tak kelihatan bayangannya lagi.

Sesudah jalan lagi beberapa lama, se-konyong2 di sebelah depan kembali muncul dua penunggang kuda yang datang dengan cepat sekali.

"Jika mereka benar mata2, maka yang mau bekerja adalah dua rombongan perampok," kata si nona dalam hatinya. 

Waktu berpapasan, dan melihat di pinggang kedua orang itu tergantung golok, busur bersama anak panahnya.

Tak lama kemudian, ia masuk ke jalanan gunung yang ber-belit2 dan sesudah jalan setengah harian, belum juga ia bertemu dengan manusia.

Si nona heran dan berkata dalam hatinya : "Dua penunggang kuda yang pertama kembali dengan cepat sekali. Jika mereka benar Cay-phoa-cu, di jalanan ini pasti terdapat saudagar hartawan. Tapi mengapa sampai sekarang aku belum juga bertemu dengan manusia ?"

Tiba2 dari sebelah kejauhah terdengar suara khim yang mengalun dengan nada duka. Mendengar lagu itu, si nona yang memang sedang bersedih, lantas saja bertambah rasa dukanya. Per-lahan2 ia mendekat dan mendengar nyanyian seperti berikut :

"Di depan tak kelihatan kawan,

Di belakang tak muncul manusia,

Memikirkan langit dan bumi dengan kedukaan,

Seorang diri kumengucurkan air mata."

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang