29. Perjumpaan yang Tidak Terduga

1.7K 33 0
                                    

TIBA-TIBA di luar ruangan itu terdengar suara langkah kaki yang disusul dengan suara seorang : "Thianhouw Piehee, kamar tidur sudah dibereskan. Dengan siapa Thianhouw Piehee bicara ?"

"Panggil The Sip Sam Nio," memerintah sang Junjungan. Ia menengok kepada Wan Jie dan berkata pula : "Bukalah pintu." kata sang Junjunan pada seseorang di luar itu.    

Sesaat kemudian, pintu terbuka dan dari luar masuklah seorang wanita setengah tua yang mengenakan pakaian istana.

Kalau halilintar menyambar di tengah hari bolong, mungkin Wan Jie tidak begitu kaget ! Tapi ini....

Ia mengawasi nyonya itu dengan mata membelalak.


"Sip Sam Nio, coba kau lihat, siapa nona ini ?" tanya Bu Cek Thian.

Air mata si-nona sudah turun seperti hujan, sedang wanita itu melompat sambil berteriak : "Anakku !"

Ia menubruk dan memeluk Wan Jie erat-erat.

Wanita itu bukan lain daripada ibu kandung Wan Jie sendiri.

Ia seorang she The, anak yang ketiga belas dari kedua orang tuanya, dan sesudah masuk di istana ia dikenal sebagai The Sip Sam Nio.

Melihat dua batang pisau di lantai, nyonya itu mengawasi puterinya seraya berkata : "Wan Jie, kau......., anak kau........ datang dengan membawa pisau........... Kau?..........kau?............."

Bu Cek Thian bersenyum dan memberi keterangan : "Dia datang untuk membunuhku. Tapi sekarang, ia sudah bersedia untuk menemaniku. Kau harus merasa girang. Aku justru memerlukan seorang dengan senjata penghukum untuk mengawasi apa saja yang aku lakukan!"

Sesudah semangatnya kembali, Sip Sam Nio menghela napas seraya berkata: "Kau benar gila dan syukur kau belum melakukan perbuatan yang gila-gila anakku. Ya......, Thianhouw Piehee pernah membunuh mertuaku dan suamiku dan akupun pernah mempunyai pikiran seperti kau. Tapi sesudah lewat beberapa tahun, aku mulai mengerti. Thianhouw Piehee membunuh mereka bukan karena soal pribadi. Sesudah mengenal Thianhouw Piehee beberapa tahun, aku harus mengakui, bahwa beliau selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan menyampingkan kepentingan pribadi. Bagaimana aku bisa memandangnya sebagai seorang musuh? Aku sangat menyesal sudah kehilangan mertua dan suami. Tapi siapakah yang harus disesali ? Aku hanya bisa menyesali ayahmu yang berpandangan suram dan menyesali diri sendiri yang sudah tidak coba mencegahnya. Anak, aku sekarang hanya mempunyai kau seorang. Aku harap kau jangan setolol ayahmu."

"Sudahlah, ibu," kata Wan Jie dengan suara perlahan. "Aku ingin minta tempo sementara waktu untuk membuktikan dengan mata sendiri."

Sang Ibu menghela napas. 

"Kalau begitu hatiku lega," katanya. "Sesudah ayahmu dihukum, menurut putusan pengadilan, aku dilempar masuk ke dalam istana sebagai budak. Saat itu bukan main aku membenci Thianhouw. Tak lama kemudian, Thianhouw mengubah hukuman tersebut dengan mengatakan, bahwa kedosaan seorang suami tidak boleh menyeret-nyeret isterinya. Sesudah itu, Thianhouw bertanya apa aku suka bekerja di dalam istana sebagai guru dari para dayang. Waktu itu, pikiranku bersamaan dengan pikiranmu sekarang. Aku ingin menyaksikan dengan mata sendiri sepak terjang Thianhouw dan oleh karenanya, aku segera menerima baik tawaran itu. Dan sekarang aku sudah membuktikan, bahwa Thianhouw sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat."

Bu Cek Thian tertawa. 

"Sudahlah, hal itu biarlah dilihat dan diputuskan olehnya sendiri," katanya. "Jika aku berada di posisimu, aku tentu akan menanyakan lebih dulu pengalamannya selama beberapa tahun ini. Aku melihat Wan Jie adalah seorang yang cerdas dan berbakat baik. Aku kuatir, karena mempelajari ilmu silat ia menyia-nyiakan ilmu suratnya."

"Thianhouw Piehee, tak salah perkataan Pihee," kata The Sip Sam Nio. "Selama beberapa tahun ini, belum pernah sedetik hamba tidak mengingatnya. Wan Jie  kuingat di waktu masih kecil kau sudah suka dengan syair dan dalam usia lima tahun, kau sudah dapat menggubah syair. Bagaimana sekarang ?"

"Anak belajar di bawah pimpinan Tiangsun Pehpeh," katanya. "Di waktu siang anak belajar ilmu silat dan di waktu malam ilmu surat. Kadang-kadang anak masih suka menggubah syair."

"Aha.......! Gurumu Tiangsun Kun Liang ?" menegas sang Junjungan. "Dia seorang yang mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat. Jika kau dididik olehnya, kami boleh tak usah merasa kuatir. Beberapa waktu yang lalu aku telah memerintahkan The Un untuk mengundangnya. Tapi aku rasa, ia tak akan mudah bisa berubah pikiran, karena otaknya sudah karatan."

Mengingat Tiangsun Kun Liang, paras si-nona berubah merah dan ia merasa jengah sekali.

"Kalau Tiangsun Pehpeh tahu kejadian ini, bagaimana perasaannya....?" tanyanya di dalam hati.

Sesudah mereka bercakap-cakap beberapa lama, dayang yang membereskan kamar tidur, kembali meminta supaya sang Junjungan beristirahat.

"Benar, sekarang sudah jauh malam dan kita mesti beristirahat," kata Bu Cek Thian. "Sip Sam Nio, kesehatanmu kurang baik, tapi mulai dari sekarang, kau bisa berkumpul terus dengan puterimu. Aku sebenarnya ingin bicara lebih banyak lagi, tapi sekarang kita harus beristirahat dulu. Jie Ie! Apa kau sudah menyediakan kamar untuk Wan Jie ?"

Budaknya Hian Song masuk seraya berkata : "Wan Jie Ciecie, marilah."

Sesudah mengantar nona Siangkoan ke sebuah kamar yang sederhana dan bersih, Jie Ie tertawa seraya berkata, "Aku tahu kau tak akan membunuh Thianhouw, sehingga hatiku lega. Melihat kau melompat turun, aku sudah berani memastikan, bahwa kau akan berubah pikiran sehingga aku tidak mengawasimu lagi dan lalu membereskan kamar ini."

Wan Jie terkejut.

Baru sekarang ia tahu, bahwa ia terus diawasi oleh Jie le yang lihay.

Jie Ie bersenyum dan berkata pula : "Syair Siociaku yang diberikan kepadamu sekarang sudah terbukti kebenarannya. Siocia tahu, bahwa pada akhirnya, ia dan kau akan berkumpul bersama-sama."

"Aku sangat ingin bertemu dengan Siociamu lagi," kata Wan Jie.

"Siocia sedang mengejar Lie It," kata Je Ie. "Kulihat Lie It sangat menyayangimu. Apa kau tidak memikirkan dirinya?"

Sehabis berkata begitu, ia tertawa dan berjalan keluar sambil menyingkap tirai.

Dapat dimengerti, jika Wan Jie tak dapat tidur pulas. Ia gelisah di atas pembaringan dan di dalam pikirannya berkecamuk hebat hal-hal yang tak terduga .

Ia ingat Bu Hian Song dan ingat pula Lie It.

Bagaimana nasib pemuda itu yang sedang dikejar-kejar?

Apa dia tidak gusar karena ia sekarang dapat dikatakan telah takluk kepada Bu Cek Thian ?

Dengan pikiran kusut, si-nona menghela napas berulang-ulang.

Seperti juga Siangkoan Wan Jie, pada ketika itu Lie It sedang terjepit di antara budi dan permusuhan, sehingga ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

*******

Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie ShenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang