HARI ITU, sesudah mengalami pukulan hebat di atas puncak Kim-teng, dengan perasaan kecewa ia melarikan diri dan mendaki gunung secepat-cepatnya.
Perlahan-lahan keadaan di sekelilingnya berubah sunyi dan kesunyian itu hanya dipecahkan oleh suara angin, air dan nyanyian burung-burung kecil.
Dengan pikiran semrawut, ia berjalan terus di antara bukit-bukit.
Tiba-tiba di sebelah timur terlihat sehelai sinar merah yang gilang-gemilang dan tak lama kemudian, matahari mulai muncul.
Fajar sudah menyingsing dan ia berjalan terus sambil melawan terjangan angin yang sangat dingin.
Ia menghela napas dan di depan matanya kembali terbayang pengalaman-pengalaman yang telah lampau.
Mendadak, dibawa oleh tiupan angin dari sebelah kejauhan terdengar suara tertawa yang nyaring bagaikan kelenengan perak.
Ia terkejut. Tiba-tiba, dari belakang sebuah bukit muncul seorang wanita muda yang mengenakan pakaian warna putih.
Ia lebih kaget lagi, karena nona itu bukan lain daripada Bu Hian Song.
"Enghiong besar," kata Hian Song sambil tertawa geli. "Mengapa kau berlalu begitu cepat?"
Sambil memegang gagang pedang, Lie It mengawasi si nona dengan sorot mata gusar.
"Seorang gagah boleh dibunuh, tapi tak boleh dihina," katanya. "Hunus ........ senjatamu dan binasakan aku jika kau mampu."
Hian Song kembali tertawa geli.
"Siapa yang menghinamu ?"tanyanya. "Aku datang ke sini untuk mengembalikan barangmu, tapi kau menduga yang tidak-tidak."
Lie It mengawasi dan ternyata, kedua tangan nona Bu memegang khim tua yang telah ketinggalan di atas lapangan Kim-teng.
"Ambillah," kata pula Hian Song sambil tersenyum. "Tanpa khim, syairmu menjadi kurang keindahannya."
Paras muka Lie It berubah merah.
Ia melirik Hian Song dan ternyata pada muka nona itu tidak terdapat sinar permusuhan.
Karena si-nona bermaksud baik, ia tak dapat mengumbar napsu.
Tapi mengingat pengalamannya semalam dan sekarang ia harus menerima khim dari tangannya seorang wanita yang telah merobohkannya, ia jadi merasa jengah sekali.
"Sambutlah!" kata Hian Song sambil melemparkan tabuh-tabuhan itu. "Jangan kau membawa lagak sebagai seorang Bengcu Enghiong Tayhwee yang semacam itu, Bengcu yang semacam itu, tiada harganya. Tapi khim ini berharga tinggi Menurut pendapatku, kau lebih baik melemparkan kedudukan Bengcu itu daripada kehilangan khim ini!"
Dengan terpaksa Lie It menyambuti juga khimnya.
Ia ingin mengucapkan terima kasih, tapi mulutnya terkancing dan dilain saat, Hian Song sudah berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan sehingga tak lama kemudian, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Lie It menghela napas.
"Hai! Dunia benar-benar sudah berubah!" pikirnya. "Lelaki merosot ke bawah, perempuan naik ke atas. Bu Cek Thian menjadi kaizar, apakah Rimba Persilatanpun bakal dikuasai oleh seorang wanita?"
Hatinya merasa sangat penasaran.
Tapi dilain saat, ia harus mengakui, bahwa jika dibandingkan dengan wanita seperti Bu Hian Song, "orang gagah" yang semalam berkumpul di atas puncak Kim-teng adalah seperti mutiara dibandingkan dengan batu-batu koral.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) ~ Liang Ie Shen
Художественная прозаAwal kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu karya terbaik Liang Ie Shen. Sangat direkomendasikan untuk dibaca (must read), bahkan dari beberapa pengamat memberikan bintang 5 untuk trilogi ini (Trilogi Pendekar Rajawali karya Jin Y...